KORANNTB.com – Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) NTB menggelar diskusi publik bertema “Bongkar Dana Siluman dan BTT Setengah Triliun, Adakah Keterlibatan Gubernur?” di Tuwa Jawa, Mataram, Senin malam, 10 November 2025.

Acara ini menghadirkan mantan anggota DPRD NTB, TGH Najamuddin Mustafa, yang menyoroti dugaan penyalahgunaan dana Belanja Tidak Terduga (BTT) Pemerintah Provinsi NTB senilai Rp500 miliar.

Kasus BTT ini sebelumnya mencuat setelah pemerintah provinsi diketahui telah dua kali melakukan pergeseran anggaran melalui Peraturan Gubernur Nomor 2 dan 6 Tahun 2025. Dari total BTT sekitar Rp500 miliar, tercatat sekitar Rp484 miliar telah digunakan.

Polemik muncul karena sebagian penggunaan dana itu dialokasikan untuk kegiatan yang dinilai bukan bersifat darurat, seperti pembayaran utang, kegiatan desa berdaya, pembiayaan FORNAS, serta peningkatan status RSUD H. L. Manambai Abdulkadir di Sumbawa.

Pihak Pemprov NTB beralasan bahwa penggunaan dana tersebut sudah sesuai regulasi dan telah dibahas bersama DPRD. Namun, sejumlah kalangan, termasuk KNPI NTB, menilai kebijakan itu menabrak aturan penggunaan BTT yang seharusnya hanya untuk keadaan darurat dan tak terduga.

Dalam forum tersebut, TGH Najamuddin Mustafa menegaskan bahwa dasar hukum penggunaan BTT sudah jelas.

“Saya mulai dari BTT atau Belanja Tidak Terduga. Dari namanya saja tidak terduga maka tidak boleh diduga-duga belanjanya,” ujarnya.

Ia menjelaskan, persoalan bermula dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang dimasukkan ke pos BTT pada masa jabatan penjabat gubernur.

“Berawal dari DBHCHT siapa yang menaruh menjadi BTT. Yang paling pas harus ditaruh di belanja cadangan atau belanja Silpa. Karena Gubernur Iqbal belum dilantik maka yang menaruh pasti penjabat gubernur yang ada waktu itu. Sehingga saat itu ditaruh ke BTT sebanyak 500 miliar,” katanya.

Najamuddin menekankan bahwa penggunaan BTT hanya dapat dilakukan dalam kondisi mendesak sesuai PP Nomor 12 Tahun 2019 Pasal 55 ayat (4).

“Kapan BTT boleh digunakan harus sesuai dengan PP 12 2019 Pasal 55 ayat (4). BTT bisa dibelanjakan pada sesuatu yang mendesak dan darurat terhadap sesuatu yang tidak bisa diprediksi, misalnya bencana,” jelasnya.

“Pembelanjaan BTT harus ada surat keputusan dari pemerintah daerah tentang adanya bencana,” tambahnya.

Ia mempertanyakan dasar hukum Pemprov NTB yang menggunakan dana tersebut untuk kegiatan yang dinilai bisa direncanakan.

“Kenapa pemerintah provinsi pada bulan Maret mengeluarkan Pergub no 02 dan 06 lalu membajak BTT untuk membayar utang, memberikan ke desa berdaya, membayar Fornas, meningkatkan status RS Manambai dari C ke B,” katanya.

“Padahal semua itu bisa diprediksi. Masak tidak direncanakan? Maka dalam penggunaannya menurut kami dan menurut hukum jelas menyalahgunakan kewenangan,” tegasnya.

Najamuddin menilai tindakan tersebut telah melanggar sejumlah ketentuan.
“Apa yang dilakukan Pemprov melanggar PP 12 Tahun 2019 dan Peraturan Gubernur No 24 tahun 2024 terkait penggunaan,” ujarnya.

Ia juga menyinggung pergeseran anggaran yang dilakukan pada Maret dan Mei, yang menurutnya tidak sesuai prosedur.

“Kemudian kedua dilakukan pergeseran. Dalam pergeseran anggaran diatur dalam Permendagri Nomor 77 tahun 2020 Bab 6 huruf D dan h.

Dijelaskan, bunyinya tentang prosedur pergeseran anggaran. Pergeseran anggaran bisa dilakukan pada sesuatu yang sedang mendesak dan darurat terhadap perubahan prioritas pembangunan nasional dan daerah.

*Ada gak bulan Maret perubahan prioritas pembangunan nasional dan daerah? Enggak ada. Maka Gubernur NTB melanggar ketentuan tersebut,” ucapnya.

Ia melanjutkan bahwa ketentuan dalam PP Nomor 12 Tahun 2019 Pasal 160 dan 165 juga dilanggar.

“Kemudian PP Nomor 12 Tahun 2019 Pasal 160 dan 165, bunyinya pergerakan anggaran boleh dilakukan setelah laporan realisasi penggunaa anggaran APBD satu semester.

Pergeseran anggaran apabila RPJMD sudah ditetapkan. Seharusnya bulan Agustus tapi yang digeser bulan Maret sama Mei. Ini kembali melanggar.

“Pergeseran anggaran hanya boleh dilakukan dengan menggunakan Perda bukan Pergub. Tapi digeser menggunakan Pergub No 2 dan nomor 6,” paparnya.

Najamuddin menambahkan bahwa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga diabaikan.

“Disebut juga dalam UU Pemda nomor 23 tahun 2014: pergeseran bisa dilakukan setelah RPJMD ditetapkan. Jika belum ditetapkan maka kembali RPJMD sebelumnya atau rencana kerja Pemda sebelumnya. Tapi pergeseran di bulan Maret dan Mei,” katanya.

Ia menutup pernyataannya dengan menyebut kasus ini sudah dilaporkan ke pihak kepolisian.

“Kami sudah melapor ke Polda NTB dan menduga dewan akan kena dan Pemprov akan kena di penggunaan dan pergerakan,” ujarnya.

Respon Pemprov

Sebelumnya, Inspektur Inspektorat NTB, Budi Herman membantah ada temuan dalam BTT tersebut. Dia mengatakan hanya terjadi pergeseran sesuai regulasi yang ada.

“Tidak ada temuan, cuma pergeseran. Semua sesuai regulasi,” ujarnya.

Dia mengatakan telah melakukan audit terhadap BTT yang hasilnya tidak ditemukan adanya pelanggaran.

“Sudah selesai. Sudah tidak ada masalah penggunaannya,” ujarnya.

Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal juga telah menjelaskan bahwa pergeseran tersebut sesuai regulasi yang ada.

“Undang-undang dan prosesnya semua sudah jelas. Tidak ada hal yang terlalu istimewa untuk dijelaskan,” ujarnya.