KORANNTB.com – Aliansi Mahasiswa dan Rakyat NTB bersama orangtua enam terdakwa kasus demo berujung perusakan Mapolda NTB pada 30 Agustus 2025 kembali mengajukan permohonan penangguhan atau pengalihan penahanan kepada Pengadilan Negeri Mataram, Rabu, 19 November 2025. Permohonan itu diserahkan langsung didampingi sejumlah organisasi masyarakat sipil, termasuk SPN, LBH APIK NTB, PBHM NTB, BEM UMMAT dan SMI Mataram.

Surat permohonan tersebut dilampiri pernyataan penjamin dari 49 pihak yang berasal dari unsur orangtua, kepala desa, akademisi, rektor dan wakil rektor, organisasi mahasiswa, NGO daerah maupun nasional, serta tokoh masyarakat. Mereka menyatakan bersedia memberikan jaminan agar keenam mahasiswa dan buruh yang menjadi terdakwa dapat menjalani proses hukum tanpa penahanan.

Perwakilan Tim Pembela Aliansi Mahasiswa dan Rakyat NTB, Megawati Iskandar Putri, mengatakan permohonan yang dibawa ke PN Mataram ini merupakan yang kelima setelah empat permohonan sebelumnya kepada Polda NTB dan Kejati NTB tidak mendapatkan respons.

“Permohonan kami yang sebelumnya ke Polda NTB dan Kejati NTB tidak pernah ditindaklanjuti, apalagi diberikan jawaban resmi. Ini menunjukkan pengabaian hak hukum mereka dan kewajiban prosedur aparat penegak hukum,” ujarnya.

Ia menilai enam terdakwa telah menjalani penahanan yang terlalu panjang sejak ditetapkan sebagai tersangka kasus perusakan Mapolda NTB. Menurutnya, dugaan kerusakan yang dituduhkan tidak sebanding dengan lamanya penahanan.

“Mereka dituduh atas kerusakan yang bukan akibat dari perbuatannya dan harus menjalani proses penahanan pembatasan kebebasan berlarut-larut hingga hari ini totalnya 79 hari tanpa alasan yang jelas dan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia,” kata Megawati.

Megawati juga menilai penanganan perkara ini mencerminkan buruknya situasi kebebasan sipil.

“Pengrusakan yang terjadi nilai materinya sangat kecil dibandingkan dengan buruknya kinerja kepolisian. Proses hukum ini adalah preseden buruk bagi kebebasan sipil dan kondisi demokrasi di Indonesia,” tambahnya.

Dalam permohonan yang sama, mereka juga meminta perlindungan hukum atas dugaan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan selama proses penyidikan dan penuntutan.

“Kami memohon perlindungan hukum atas abuse of power tindakan sewenang-wenang yang melanggar etik, disiplin dan hukum, yang memanfaatkan kekuasaan untuk menindas hak konstitusi dan hak hukum para pemohon,” ucapnya.

Tembusan surat tersebut dikirimkan kepada Kapolri, Kompolnas, Jaksa Agung dan Komisi Kejaksaan untuk menjadi bahan evaluasi.

Sementara itu, Sukriah, perwakilan orangtua enam terdakwa, berharap majelis hakim mempertimbangkan kondisi anak-anak mereka yang disebut tidak pernah terlibat aksi sebelum peristiwa 30 Agustus.

“Kami orangtua dari enam terdakwa memohon kepada Bapak Ibu Hakim Yang Mulia di Pengadilan Negeri Mataram untuk segera mengeluarkan anak-anak kami dari sel penjara, mereka sudah sangat lama dua bulan lebih,” kata Sukriah.

Ia menegaskan anak-anak mereka bukan pelaku perusakan seperti yang dituduhkan.

“Mereka sebelum kejadian ini tidak pernah ikut demo, hanya sibuk kuliah dan bantu keluarga cari nafkah, jadi tidak mungkin mereka berenam merusak kantor Polda NTB,” ujarnya.

Sukriah menutup harapannya dengan meminta anak-anak mereka dikembalikan ke keluarga.

“Meski kami hidup miskin sederhana, mereka adalah kebanggaan kami. Beri kami rakyat kecil dan anak-anak kami ini keadilan. Kami mohon Bapak Ibu Hakim bebaskan anak-anak kami, kami rindu masak dan makan bersama di rumah,” katanya.