Oleh: Ary Purmadi

Dosen Universitas Pendidikan Mandalika / Mahasiswa S3 Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Surabaya

KORANNTB.com – Bayangkan seorang anak di pesisir Mandalika menghafal bagian-bagian kereta api, sementara anak di pedalaman Papua belajar tentang pasar modal tanpa pernah melihat bank. Ini bukan lelucon, melainkan potret nyata dari paradoks pendidikan kita. Upaya penyeragaman kurikulum di tengah kekayaan dan keragaman konteks lokal Indonesia yang tak terhingga.

Kurikulum nasional yang seragam, meski dilandasi niat baik untuk menstandar mutu, justru kerap berubah menjadi “kotak kaku” yang meminggirkan realitas geografis, sosial, dan budaya siswa. Filosofinya mirip sistem pabrik yang ingin menghasilkan output seragam, padahal pendidikan sejati adalah tentang “menuntun tumbuh” sesuai kodrat dan lingkungan anak, sebagaimana dicita-citakan Ki Hajar Dewantara.

Dampaknya multifaset. Pertama, potensi lokal mati suri. Anak-anak di daerah agraris tidak vertut didalam mengelola pertanian modern, anak pesisir tidak mendalami kelautan yang menjadi nafkah negeri. Kurikulum yang “Jakarta-sentris” mengabaikan kekayaan sumber daya dan kearifan lokal masing-masing daerah. Kedua, kesenjangan pendidikan justru melebar. Siswa di daerah tertinggal semakin tertinggal karena konteks pembelajaran yang diajarkan terasa asing dan tidak aplikatif dalam kehidupan sehari-hari mereka. Ketiga, guru dibebani peran sebagai sekadar “kurir” kurikulum pusat, bukan sebagai “inovator” yang menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan nyata murid di depannya.

Lalu, adakah jalan keluar? Jawabannya terletak pada pergeseran paradigma dari “satu untuk semua” menjadi “kerangka untuk keunikan”. Pertama, kurikulum nasional harus berubah dari “buku pedoman tebal” menjadi framework atau payung besar yang hanya menetapkan kompetensi inti, seperti nilai Pancasila, literasi, dan numerasi. Isi detail dan muatannya harus diserahkan kepada otonomi daerah dan satuan pendidikan.

Kedua, guru harus diberi kepercayaan dan kapasitas untuk menjadi “perancang pembelajaran”. Mereka perlu dilatih untuk mengembangkan materi ajar yang kontekstual. Matematika tidak harus tentang soal kereta api, tetapi bisa tentang menghitung volume tangkapan ikan atau luas lahan pertanian. Pelajaran ekonomi bisa dimulai dari mempelajari nilai jual komoditas unggulan daerahnya.

Ketiga, kebijakan “Merdeka Belajar” harus diartikulasikan lebih jauh sebagai “Merdeka untuk Kontekstual”. Platform Merdeka Mengajar yang berubah nama menjadi Ruang GTK seharusnya menjadi gudang inspirasi bagi guru untuk berbagi modul ajar yang sesuai dengan konteks daerahnya masing-masing, bukan sekadar repositori materi yang seragam.

Indonesia adalah mozaik, bukan satu warna tunggal. Masa depan pendidikan kita terletak pada kemampuannya untuk merangkul keragaman itu sebagai kekuatan, bukan sebagai masalah yang harus diseragamkan. Kurikulum yang kontekstual bukan hanya akan membuat belajar lebih bermakna, tetapi juga akan mencetak generasi yang paham akar rumputnya dan siap membangun daerahnya sendiri.