Keluarga Aktivis Kasus Perusakan di Polda NTB Diduga Diperlakukan Tidak Adil
KORANNTB.com – Enam aktivis yang menjadi terdakwa kasus perusakan di Polda NTB saat demo 30 Agustus lalu, kembali menjalani sidang di Pengadilan Negeri Mataram, Rabu, 3 Desember 2025.
Suasana di luar sidang sempat terjadi keributan saat pihak keluarga ingin menyambangi para aktivis yang ditahan di ruang tahanan Pengadilan Negeri Mataram. Saat itu petugas tidak memberikan izin.
“Mereka ingin temui anak-anaknya di sel sebelum kembali diantar ke Lapas. Kita minta izin ke petugas, tapi kata petugas harus tunggu izin jaksa,” kata Tim kuasa para terdakwa, Nur Khotimah.
Permintaan untuk membesuk para aktivis bahkan dilakukan hingga tiga kali, namun tidak juga diberikan akses masuk oleh petugas. Akhirnya pihak keluarga meminta izin ke jaksa, namun jaksa tidak berkenan untuk menemui keluarga para terdakwa.
“Sampai tiga kali kita minta dan terakhir kita minta ke jaksa, tapi jaksa gak mau temui kita,” ujarnya.
Ironisnya, keluarga dari terdakwa dalam kasus yang berbeda justru diberikan akses untuk membesuk keluarganya. Itu dilakukan di depan mata keluarga para aktivis. Hal tersebut memicu protes dari pihak keluarga aktivis dan tim kuasa.
Bahkan, seorang keluarga salah satu aktivis mahasiswa yang ditahan jatuh pingsan karena kelelahan dan kecewa dengan perilaku yang tidak adil oleh petugas. Sisanya, banyak keluarga terdakwa yang menangis.
“Kasihan sekali keluarga para aktivis yang ditahan. Mereka ada yang jauh-jauh dari Dompu untuk membesuk tapi diperlakukan seperti ini,” ujarnya.
“Di hadapan kita petugas memberi masuk pengunjung lain untuk menemui tersangka lain. Ini kan gak fair,” sambung Nur yang juga merupakan aktivis yang intens membela para pekerja migran.
Jalannya Sidang
Sebagai informasi, agenda sidang hari ini adalah eksepsi dari terdakwa atas dakwaan jaksa penuntut. Ada banyak poin yang termuat dalam eksepsi, di antaranya aparat belum mampu mencari aktor utama kasus perusakan Mapolda NTB. Enam aktivis yang ditahan diduga tidak menjadi aktor utama dalam bentrokan yang membuat sejumlah fasilitas Polda NTB rusak.
“Pelaku utama perusakan belum ditangkap. Sampai hari ini kasus ini seolah ditutup dan menjadikan enam tersangka sebagai pelaku utama. Artinya tidak ada upaya pihak kepolisian mencari dalang atau provokator,” ujar Nur.
Dia juga menilai dakwaan jaksa sebelumnya banyak yang keliru dalam menyebut identitas para terdakwa.
Kemudian, dari enam terdakwa, perannya justru bukan sebagai aktor utama keributan di Polda NTB pada 30 Agustus 2025 lalu, seperti ada yang melempar menggunakan buah palem, ada yang menendang kaca namun kaca tidak pecah, ada yang memukul neon box, namun faktanya neon box yang dipukul sebelumnya telah hancur duluan.
“Kenapa hanya enam orang yang ditahan, ini kekecewaan berat keluarga. Seharusnya polisi mencari aktor utamanya,” katanya.
Sebagai informasi, aksi 30 Agustus lalu merupakan aksi gabungan mahasiwa dan massa Ojek Online atau Ojol yang berunjukrasa di Polda NTB dan Kantor DPRD NTB yang mengakibatkan kantor tersebut terbakar. Namun dalam kasus ini, enam terdakwa yang ditahan dalam kasus perusakan khusus di Polda NTB.
Aksi melibatkan ribuan massa dan bahkan secara tidak terduga massa dari pelajar sekolah ikut bergabung.
Aksi tersebut merupakan eskalasi dari kemarahan massa atas tunjangan DPR yang naik fantastis di tengah mengguritanya kemiskinan di Indonesia. Ditambah lagi, seorang massa Ojol di Jakarta tewas menjadi korban tabrak oleh Rantis Brimob yang memicu aksi solidaritas di banyak daerah termasuk NTB.
Polisi seharusnya menjadikan kasus tersebut alat instropeksi diri terhadap tuntutan massa, alih-alih mempidanakan massa. Kasus tersebut menjadi sinyal kebutuhan publik yang mendesak atas reformasi Polri.
Media ini tengah berupaya menghubungi jaksa penuntut untuk meminta keterangan atas insiden tersebut. Hingga saat ini jaksa belum dapat dikonfirmasi.
