Oleh: Ir Anwar Fachry (Dosen Senior Fakultas Peternakan Universitad Mataram)

KORANNTB.com – ​Dalam topografi intelektual NTB, Pusat Penelitian Bahasa dan Kebudayaan (P2BK) tidak pernah sekadar menjadi koordinat geografis atau administratif. Sejak gerbangnya saya masuki pada 1998, ia menahbiskan diri sebagai sebuah state of mind – sebuah kawah candradimuka eksistensial. Di sinilah almarhum Abah Husni Muadz tidak sedang membangun kantor, melainkan menenun sebuah “sufisme institusional”. Bagi Abah, organisasi adalah organisme metafisik: ia bernapas dengan sistem, namun hidup karena ruh. Di tangan dinginnya, teori social system bukan sekadar diktum akademik, melainkan manhaj untuk menata energi kolektif manusia agar selaras dengan orbit ilahiah.

​P2BK adalah ruang perjumpaan (school of encounter) di mana riset adalah laku prihatin, analisis adalah kontemplasi, dan disiplin kerja adalah bentuk zikir yang paling sunyi. Namun, hukum alam mendiktekan bahwa setiap masa kejayaan akan menemui fase khalwat-nya sendiri. Sepeninggal Abah, P2BK seolah memasuki lorong senyap, meredup dari hingar-bingar permukaan. Banyak yang mengira api itu telah padam. Mereka keliru. Api itu tidak mati; ia hanya bermigrasi, mencari wujud baru dalam tubuh-tubuh yang siap memikul beban integritas.

​Di sinilah relevansi kehadiran sosok seperti Prof. Dr. Sukardi, menemukan momentumnya.

​Jika Abah Husni adalah sang mursyid yang meletakkan fondasi filosofis, maka Prof. Sukardi adalah arsitek teknokratis yang menerjemahkan filosofi tersebut ke dalam praksis manajerial yang presisi. Membaca rekam jejak Guru Besar Universitas Mataram yang meraih puncak akademik di usia muda (44 tahun) ini, kita tidak hanya melihat deretan prestasi Scopus atau jabatan Wakil Rektor II. Kita melihat manifestasi dari apa yang diajarkan di P2BK: bahwa kepemimpinan adalah jalan sunyi pengabdian.

​Dalam dokumen profilnya, terungkap sebuah etos yang menggetarkan: Prof. Sukardi mendefinisikan integritas bukan sebagai slogan heroik, melainkan sebagai “ribuan keputusan jujur yang diambil setiap hari.” Ini adalah resonansi spiritual yang kuat. Ketika beliau turun ke lapangan, memeriksa selokan, menyapa petugas kebersihan, atau pulang larut malam demi memastikan tata kelola keuangan yang akuntabel (hingga Unram meraih predikat WTP dan akreditasi Unggul), sesungguhnya beliau sedang melakukan “zikir administratif”.

​Keteladanan Prof. Sukardi adalah antitesis dari kepemimpinan feodal. Ia menolak klaim keberhasilan sebagai capaian tunggal, sebuah sikap tawadhu’ (rendah hati) yang radikal di tengah budaya narsisme jabatan. Filosofinya bahwa “kebaikan mengikuti hukum kekekalan energi” adalah tafsir modern dari konsep amal jariyah. Ia memahami bahwa jabatan hanyalah panggung sementara untuk menebar benih yang panennya mungkin tak akan ia nikmati sendiri. Ini adalah napas P2BK yang terus hidup: bekerja bukan untuk dilihat, tapi untuk “menjadi”.

​Hubungan antara era Abah Husni dan era Prof. Sukardi bukanlah hubungan garis lurus kronologis, melainkan hubungan dialektis. Abah memberi ruh, Prof. Sukardi memperkuat tulang dan otot institusi. Kolega dan mahasiswanya bersaksi tentang keteduhan dan ketegasannya—sebuah paradoks yang hanya bisa disatukan oleh orang yang telah selesai dengan egonya sendiri.

​Kini, saat kita menatap P2BK yang tampak hening, tulisan ini adalah sebuah proklamasi. Bahwa warisan itu tidak pernah menjadi abu. Ia menyala dalam diam, berdenyut dalam setiap tanda tangan yang jujur, dalam setiap kebijakan yang memanusiakan pegawai, dan dalam setiap visi yang melampaui kepentingan sesaat. Jejak sunyi itu kini menyala terang dalam sosok-sosok penerus yang menjaga bara api warisan itu tetap hidup, membuktikan bahwa P2BK bukan sekadar kenangan masa lalu, melainkan cetak biru bagi masa depan yang beradab.

​Cahaya itu tidak pernah padam. Ia hanya menunggu mata yang cukup jernih untuk melihatnya.