Pojok NTB dan Mi6 Gelar Diskusi Publik, Soroti Kepemimpinan Iqbal-Dinda
KORANNTB.com – Pojok NTB, WALHI NTB, dan Lembaga Kajian Sosial dan Politik Mi6 akan menggelar diskusi publik bertajuk “Quo Vadis Kebijakan Iqbal-Dinda Berbasis Pencitraan” pada Kamis, 19 Juni 2025, di Tuwa Kawa Coffee & Roestery, Mataram, pukul 19.30 WITA hingga 22.30 WITA.
Diskusi ini bertujuan sebagai pengingat bagi Gubernur NTB. Lalu Muhamad Iqbal dan Wakil Gubernur. Indah Dhamayanti Putri untuk mengoreksi arah kebijakan mereka yang dinilai belum menyentuh substansi masalah daerah.
“Diskusi ini adalah ruang kritik konstruktif. Kritik dari publik jauh lebih jujur dibanding bawahan yang cenderung diam,” kata Direktur Mi6, Bambang Mei Finarwanto, Sabtu, 14 Juni 2025.
Sejumlah tokoh dijadwalkan hadir sebagai narasumber, di antaranya Dr. Lalu Wira Pria Suhartana (Dekan Fakultas Hukum Unram), Dr. Alvin Syahrin, dan Prof. Mansur Afifi (Guru Besar FEB Unram). Juga akan hadir TGH Najamuddin Mustafa, Anggota Komisi I DPRD NTB Suhaimi, Eksekutif Daerah WALHI NTB Amri Nuryadin, dan Direktur LOGIS NTB M. Fihiruddin. Diskusi akan dimoderatori oleh Abdul Majid.
Didu—sapaan akrab Bambang Mei Finarwanto—menyampaikan, kritik mungkin menimbulkan ketidaknyamanan, namun justru menjadi ruang untuk menyelamatkan NTB dari kekeliruan yang berulang.
“Tiap hari tampil, tapi tak satu pun masalah selesai. Blusukan tanpa perubahan hanya akan menjadi jalan-jalan berseragam,” ujarnya.
Senada, Admin Pojok NTB sekaligus Direktur LOGIS NTB, M. Fihiruddin menilai kepemimpinan Iqbal-Dinda selama lebih dari tiga bulan hanya terlihat aktif secara seremonial, namun minim arah kebijakan strategis.
“Pemerintah hanya hadir secara administratif, tapi absen secara visioner dan eksekutif. Ini pemerintahan yang berjalan karena sistem, bukan karena kepemimpinan,” kata Fihir.
Ia juga menyoroti lemahnya intervensi terhadap isu-isu krusial seperti kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan infrastruktur dasar. “Pemimpin terlihat, tapi tak memimpin,” tegasnya.
Sementara itu, Dewan Pendiri Mi6 Hendra Kusumah menilai Gubernur dan Wakil Gubernur belum menunjukkan komitmen terhadap isu lingkungan hidup.
“Dalam tiga bulan, jika memang peduli, seharusnya sudah ada langkah konkret: moratorium tambang, penataan ruang, atau alokasi anggaran untuk konservasi,” ujar Hendra yang juga Ketua Panitia Diskusi.
Ia menambahkan, kerusakan lingkungan menyangkut hak dasar masyarakat untuk hidup layak. “Jika pemimpin diam terhadap kerusakan lingkungan, artinya ia lebih memilih berpihak pada kepentingan jangka pendek yang merusak masa depan,” tutupnya.