Perkawinan Anak di NTB: Kekerasan Berbasis Budaya pada Perempuan
Tara Karillah Davanti
KOLOM – Perkawinan anak adalah pernikahan yang dilakukan di usia anak-anak. Menurut UU. No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1 ayat (1) Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak-anak merupakan calon penerus peradaban bangsa, ayat (2) Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Perkawinan anak merupakan kekerasan berbasis budaya, di Nusa Tenggara Barat adapun beberapa faktor budaya pendorong terjadinya praktek perkawinan anak perempuan, yaitu interpretasi budaya bahwa perempuan yang telah menstruasi dianggap siap untuk menikah, adanya anggapan perawan tua, dan dijadikan gunjingan, mencegah perbuatan zina atau perbuatan yang tidak baik, perjodohan, mempertahankan kelas, dan status sosial, serta karena kehamilan tidak diinginkan dan membawa lari anak perempuan.
Berdasarkan Susenas BPS, Proporsi perkawinan anak di Indonesia, angka pernikahan anak terkhusus perempuan di Nusa Tenggara Barat (NTB) tahun 2021-2023 menempati urutan pertama berturut-turut, bahkan presentasinya mengalami kenaikan. Bagaimana dampaknya terhadap kesejahteraaan Perempuan Nusa Tenggara Barat?
Daerah | 2021 | 2022 | 2023 |
Nusa Tenggara Barat | 16,59% | 16,23% | 17,32% |
Rata-rata Indonesia | 9,23% | 8,06% | 6,92% |
Data: Proporsi Perempuan Umur 20-24 Tahun Yang Berstatus Kawin Atau Berstatus Hidup Bersama Sebelum Umur 18 Tahun Menurut Provinsi (Persen), 2021-2023. (Terakhir Diperbarui : 6 Maret 2024 Sumber: Susenas,BPS)
Praktek Perkawinan anak pada perempuan menimbulkan dampak yang besar dan signifikan dalam situasi perempuan yang tertindas. Pertama, Hilangnya akses terhadap hak kesehatanreproduksi dan seksual anak perempuan, berpotensi mengalami komplikasi dan kematian ibu karena menjalani proses persalinan pada usia yang terlalu muda. Akibatnya, bayi yang dilahirkan seringkali memiliki berat badan dan tinggi yang rendah (tidak sesuai dengan anak seusianya) karena faktor ketidaksiapan dari ibu yang mengandung. Presentase persebaran data anak Stunting Pada 2024 – Di NTB jumlah anak yang dikatakan pendek 42.365 dan sangat pendek 13.447 dari total 441.000 balita. Ketidakmatangan usia Ibu secara fisik dan psikologis menjadi salah satu pendorong stunting yang dapat besar penyebabnya disebabkan oleh kurangnya asupan gizi pada 1000 Hari Anak Pertama, yaitu saat ibu mengandung atau pada anak saat sedang dalam masa pertumbuhan.
(Sumber: Monitoring Pelaksanan 8 Aksi Konvergensi Intervensi Penurunan Stunting Terintegrasi – Ditjen Bina Pembangunan Daearh Kementerian Dalam Negeri 2022-2024)
Daerah | 2022 | 2023 | 2024 | ||
Nusa Tenggara Barat | 18,5% | 15,8% | 12,7% | ||
Rata-rataIndonesia | 8,4% | 7,1% | 3,47% | ||
Kabupaten/Kota | Prevalensi Stunting 2024 | ||||
Lombok Utara | 17,7% | ||||
Lombok Timur | 15,9% | ||||
Lombok Tengah | 13,3% | ||||
Kota Bima | 11,3% | ||||
Lombok Barat | 11,1% | ||||
Dompu | 10,9% | ||||
Bima | 9,5% | ||||
Kota Mataram | 8,6% | ||||
Sumbawa | 8,1% | ||||
Sumbawa Barat | 7,9% |
Kedua, perkawinan anak terhadap perempuan rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga sebagai implementasi relasi kuasa yang tercipta atas justifikasi budaya. Sebagai contoh pada tahun 2024, Polresta Mataram, NTB mencatat 115 kasus kekerasan yang melibatkan perempuan dan anak. Mayoritas kasus yang ditangani adalah didominasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebanyak 65%, diikuti oleh pelecehan seksual kepada anak 35%, pencabulan, dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang sebagian besar kasus KDRT diselesaikan melalui mekanisme restorative justice (RJ). Terutama jika pelapor mencabut aduan, bukannya pelaku mendapat hukuman sebagai sanksi.
(Berdasarkan Peta Sebaran Jumlah Kasus Kekerasan SIMFONI PPA di NTB data yang diinput pada tanggal 1 januari 2025 hinggasaat ini (real time) terdapat 82 perempuan korban kasus kekerasan (90,1% dari total kasus)
Keterangan | Presentase |
Jumlah Korban Berdasarkan Tempat Kejadian | 69,47% di Rumah Tangga |
Bentuk Kekerasan yang Dialami Korban | 29,6% seksual dan 25,9% psikis |
Korban Berdasarkan Usia | 40% 13-17 tahun |
Temuan pemetaan pekerja migran memperlihatkan bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga karena perkawinan anak menyumbang pada besarnya potensi terjadi kasus perdagangan orang dan pengiriman TKW (Tenaga Kerja Wanita) keluar negeri. Hal ini dilatarbelakangi keinginan menjadi pekerja migran sebagai jalan keluar dari kekerasan dalam rumah tangga dan membantu perekonomian keluarga, akhirnya anak tumbuh tanpa peran ibu yang juga rentan mengalami trauma, diskriminasi, dan kekerasan dari sekitarnya.
(Sumber: Berdasarkan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dapat diketahui bahwa pekerja migran NTB mengalami peningkatan hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya.)
Provinsi | Jumlah(2023) |
Jawa Timur | 68.069 orang |
Jawa Tengah | 59.009 orang |
Jawa Barat | 52.961 orang |
Nusa Tenggara Barat | 33.949 orang |
Lampung | 21.539 orang |
Sumatera Utara | 10.550 orang |
Bali | 9.359 orang |
Banten | 3.183 orang |
SumateraS elatan | 2.088 orang |
Sulawesi Selatan | 2.076 orang |
Total Seluruh Indonesia | 274.965 orang |
Ketiga, praktek perkawinan anak pada perempuan mengganggu konsentrasi belajar, menurunkan semangat mencapai jenjang pendidikan lebih tinggi, dan menghilangkan akses terhadap pendidikan formal yang layak.
(Sumber: Berdasarkan Portal Data Kemendikbudristek Jumlah Putus Sekolah Menurut Jenis Kelamin dan Status Sekolah Tiap Provinsi. Dataset Diunggah: 22 Agustus 2024)
Jenis Kelamin–Status Sekolah | Nusa Tenggara Barat |
Laki-laki–Negeri | 591 |
Perempuan– Negeri | 82 |
Laki-laki–Swasta | 673 |
Perempuan– Swasta | 498 |
Laki-laki–SUBJML | 64 |
Perempuan– SUBJML | 562 |
(Sumber: Berdasarkan BPS Angka Buta Aksara Menurut Provinsi dan Kelompok Umur 15+(Persen), 2021- 2023 Terakhir Diperbarui : 14 Desember 2023)
Daerah | 2021 | 2022 | 2023 |
Nusa Tenggara Barat | 12.61% | 11,03% | 10,89% |
Rata-rata Indonesia | 3,96% | 3,65% | 3,47% |
Perempuan NTB akhirnya menghadapi situasi ketidaksiapan dan kekosongan kompetensi untuk bersaing dalam pasar kerja yang menyebabkan mereka menjadi pengangguran yang bergantung secara ekonomi kepada suaminya. Situasi ini menjadi masalah dalam keluarga yang menganut sistem feodal patriarki, struktur sosial ini membentuk hierarki bahwa perempuan (istri) sebagai kaum yang kedaulatan, status, dan identitasnya berlaku atas otoritas, kekuasaan, dan peran laki-laki (suaminya).
Selain itu apabila terjadi perceraian dan ditinggal kematian suaminya kaum perempuan lah yang disudutkan atas ujaran dan pandangan subjektif masyarakat yang menimbulkan isolasi sosial dan psikologis. Di sisi lain ketika kondisi perekonomian keluarga sudah stabil pun, perempuan disibukkan mengasuh anak dan mengurus domestik sehingga mengejar pendidikan sudah bukan menjadi prioritas. Berbagai ketidakpastian yang tercipta dari perkawinaan anak mendorong perempuan dalam lubang setan berulang, produk akhir atas fenomena ini adalah kebodohan, kemiskinan, dan kejahatan.
Perempuan, laki-laki, tokoh adat dan agama, masyarakat, serta pemerintah Nusa Tenggara Barat harus segera menyadari dan mengambil sikap tegas bahwa pola pikir perkawinan di usiasekolah dan anakmengancurkan masa depan dengan membatasi pendidikan dan potensi perempuan.
Praktik kekerasan berbasis budaya yang diwariskan dengan norma masyarakat dan hukum adat yang menyimpang terhadap undang-undang secara turun-temurun ini perlu dikaji kembali. Perempuan berdaulat atas keputusan untuk meningkatkan taraf hidupnya, ruang aman yang bebas dari perlakuan diskriminatif, pelecehan, dan kekerasan, baik secara psikologis, maupun fisik di kota dan pedesaan perlu diwujudkan.
Penindasan kaum perempuan bertailan erat dengan ketertindasan rakyat, karenanya perempuan harus berjuang bersama gerakan kerakyatan. Perempuan Indonesia, Bangkit Melawan Penindasan! Suara Perempuan Suara Perubahan!