Mengapa Rudal Iran Bisa Menembus Pertahanan Udara Israel
KORANNTB.com — Dalam satu dekade terakhir, sistem pertahanan udara Israel sering disebut sebagai yang terbaik di dunia. Berlapis, terintegrasi, dan terbukti efektif menangkis ribuan roket dari kelompok militan di Gaza dan Lebanon. Namun dalam dua pekan terakhir, kenyataan di lapangan berubah drastis. Rudal dan drone yang diluncurkan Iran berhasil menembus langit Israel, menghantam infrastruktur sipil dan militer, dan memicu pertanyaan mendalam: bagaimana bisa hal ini terjadi?
Pertahanan Berlapis yang Pernah Disebut Tak Tertembus
Israel membangun sistem pertahanan berlapis sejak awal 2010-an, yang mencakup:
- Iron Dome, efektif untuk roket jarak pendek
- David’s Sling, untuk rudal balistik dan jelajah jarak menengah
- Arrow-2 dan Arrow-3, ditujukan menghadang rudal balistik jarak jauh bahkan di luar atmosfer
- Barak-8 dan Patriot PAC-3, sebagai lapisan pelengkap untuk melindungi zona strategis
Semuanya disokong oleh radar canggih dan sistem komando yang bisa merespons dalam hitungan detik. Sistem ini terbukti ampuh dalam konflik melawan Hamas dan Hizbullah, dengan tingkat intersepsi mencapai 90% lebih.
Namun sistem itu, ternyata, tidak didesain untuk menangani ratusan rudal balistik jarak jauh dan drone sekaligus.
Strategi Iran: Kuantitas, Kejutan, dan Kecerdikan
Iran tidak sekadar menyerang dengan rudal besar. Mereka melancarkan serangan bertubi-tubi yang menyasar titik lemah pertahanan Israel.
Pertama, mereka melakukan serangan saturasi—ratusan rudal dan drone dikirim dalam satu gelombang. Tujuannya bukan menghancurkan target secara presisi, tetapi membanjiri sistem pertahanan Israel hingga tak mampu mengintersepsi semuanya.
Kedua, Iran menggunakan rudal dengan multiple warheads dan kendaraan luncur manuver (MaRV). Teknologi ini memungkinkan rudal berubah arah saat memasuki atmosfer, membuat sistem seperti Arrow-3 kesulitan menentukan lintasan target.
Sudah tentu Iron Dome dan David’s Sling tidak mampu menghalau serangan karena didesain untuk menghalau rudal jarak pendek dan menengah. Sementara dari segi geografis Iran dan Israel membutuhkan rudal jarak jauh baik balistik maupun hipersonik.
Ketiga, mereka menyisipkan drone murah sebagai pengalih, yang membuat radar Israel kewalahan membedakan mana ancaman utama, mana umpan.
Keempat, Iran menyerang dari berbagai arah—langsung dari Iran, lewat Irak, dan dari wilayah Suriah. Ini memaksa Israel menyebar radar dan peluncur ke berbagai titik, membuka celah dalam jaringan pertahanannya.
“Ini bukan sekadar soal teknologi, tapi tentang volume dan kompleksitas,” kata Brigjen (Purn.) Amos Gilad, mantan pejabat intelijen militer Israel. “Ketika ratusan objek terbang masuk sekaligus, bahkan sistem terbaik pun akan goyah.”
Apa yang Dipertaruhkan
Bagi Israel, serangan ini merupakan pukulan psikologis dan strategis. Bukan hanya soal korban jiwa dan kerusakan, tapi juga reputasi bahwa negaranya mampu melindungi rakyatnya dari segala ancaman udara. Lebih jauh lagi, ini membuka babak baru dalam doktrin militer regional: serangan kuantitatif dan chaos taktis ternyata bisa mengalahkan sistem senjata berharga miliaran dolar.
Israel kini tengah mempercepat pengembangan sistem pertahanan berbasis laser, “Iron Beam,” sebagai solusi menghadapi serangan drone dan rudal dalam jumlah besar. Tapi hingga teknologi itu matang, pertanyaannya tetap sama: bagaimana menahan badai berikutnya?
Sebuah Pelajaran dari Langit
Konflik ini menunjukkan bahwa di medan perang modern, keunggulan teknologi tidak selalu menjamin kemenangan. Iran memadukan taktik klasik dengan inovasi medan tempur, memanfaatkan celah bukan karena Israel lemah, tetapi karena sistem kuat pun tetap punya batas.
Seperti yang ditulis seorang analis di Jerusalem Post: “Pertahanan terbaik bukan yang tak tertembus, tapi yang mampu terus beradaptasi.”