KORANNTB.com – Nostradamus, nama pena dari Michel de Nostredame adalah seorang tabib dan peramal asal Prancis yang hidup pada abad ke-16. Ia dikenal luas berkat karyanya Les Prophéties, kumpulan empat baris sajak yang ditafsirkan sebagai prediksi-prediksi masa depan. Sosok ini terus menjadi perdebatan antara yang meyakini visinya sebagai ramalan masa depan, dan yang menganggapnya sebagai spekulasi penuh simbol.

Dalam beberapa dekade terakhir, karyanya kembali dikaji ulang, termasuk oleh penulis Inggris Mario Reading yang menafsirkan ulang kuatrain-kuatrain Nostradamus dan menyusunnya dalam urutan kronologis modern.

Salah satu ramalan yang ditafsirkan Reading diyakini merujuk pada konflik besar antar faksi dalam dunia Islam. Kuatrain yang dimaksud memuat gambaran tentang seorang pangeran Arab dan gerakan pasukan dalam jumlah besar menuju kawasan Persia, Byzantium, dan Mesir. Ramalan tersebut berbunyi:

Pangeran Arab Mars, Matahari, Venus, dan Singa

Kekuasaan Gereja akan takluk di laut

Hampir satu juta orang akan menuju Persia,

Byzantium, Mesir, para pengikut ular yang sejati akan menyerbu.

Tafsir atas bagian akhir kuatrain ini menjadi kunci. Ungkapan “para pengikut ular yang sejati” dalam simbolisme Kristen sering dikaitkan dengan Setan atau penggoda iman. Dalam konteks ini, tampaknya Nostradamus melalui kacamata teologi Katolik atau Yahudi melihat dua aliran dalam Islam, Syiah dan Wahabi Salafi, sebagai kekuatan-kekuatan yang berseberangan namun dipandang setara dalam pandangan luar.

Gambaran tentang pangeran Arab yang terkait dengan Mars (besi), Matahari (emas), Venus (tembaga), dan Singa memberi petunjuk kepada tokoh-tokoh penting dalam sejarah Islam. Sebutan “Singa” kerap dikaitkan dengan para pemimpin Arab legendaris seperti Ali bin Abi Thalib yang dijuluki “Singa Allah”, juga dengan tokoh-tokoh lain seperti Hamza atau Alp Arslan. Simbol-simbol logam mungkin mencerminkan watak atau kekuatan dari sosok-sosok yang terlibat dalam konflik ini.

Penafsiran Mario Reading melihat kemungkinan bahwa pertempuran besar ini bukan antara dunia Islam dan kekuatan luar, melainkan konflik internal yang berasal dari keretakan teologis dan ideologis.

Baris ketiga, yang menyebutkan hampir sejuta tentara menuju Persia, menunjukkan arah gerakan militer ke wilayah yang hari ini identik dengan Iran, pusat kekuatan Syiah. Ini menimbulkan dugaan bahwa yang sedang dihadapi adalah konflik antara Wahabi Salafi yang dominan di sebagian besar dunia Arab dengan komunitas Syiah.

Perpecahan antara kedua aliran ini bukan hal baru. Wahabi Salafi dikenal sebagai penganut Islam puritan yang menolak banyak praktik keagamaan Syiah, bahkan menganggapnya menyimpang. Sebaliknya, kaum Syiah memandang diri mereka sebagai pewaris ajaran Islam yang otentik. Ketegangan teologis ini kerap kali memicu pertikaian politik dan militer, seperti yang terlihat dalam konflik di Yaman, Suriah, dan kawasan Teluk.

Ramalan ini, yang ditafsirkan sebagai berlangsung pada tahun 2025, memperkuat anggapan bahwa keretakan antara dua mazhab utama Islam ini semakin melebar dan mungkin saja menuju konfrontasi terbuka berskala besar. Sebuah perang agama atau jihad internal dengan dampak geopolitik global.

Sebagaimana ramalan lainnya, tafsir ini tentu bukan tanpa kontroversi. Namun dalam konteks konflik aktual di Timur Tengah, prediksi ini memberi gambaran yang mencemaskan tentang potensi eskalasi di masa depan.