KORANNTB.com – Pernyataan Kepolisian Republik Indonesia yang disampaikan oleh Bareskrim Mabes Polri dalam konferensi pers di Polda NTB pada Kamis sore, 10 Juli 2025, yang menyatakan telah menemukan dan menahan pelaku utama kasus kematian Brigadir Nurhadi, menuai keraguan dari tim penasihat hukum salah satu tersangka, Misri.

Aliansi Reformasi Polri untuk Masyarakat NTB, yang menjadi kuasa hukum tersangka M (Misri), menilai proses penanganan perkara ini sejak awal penuh kejanggalan dan membuka potensi manipulasi bukti.

“Kami sangat meragukan pernyataan tersebut, apalagi jika hanya mengandalkan keterangan empat orang yang bersama korban di TKP, hasil polygraph dan CCTV. Kasus ini sejak awal sudah ditangani secara tidak profesional,” kata Yan Mangandar Putra, kuasa hukum tersangka M, dalam wawancara di Mataram, Jumat 11 Juli 2025.

Ia menyoroti bagaimana sejak awal jenazah Brigadir Nurhadi ditemukan dalam kondisi tidak wajar, namun informasi yang diterima keluarga menyebutkan korban meninggal karena tenggelam.

Link Banner

“Bayangkan, dari Polres Lombok Utara hingga RS Bhayangkara, ada begitu banyak polisi dan dokter yang melihat langsung jenazah korban. Masa tidak ada satu pun yang curiga melihat luka-luka di sekujur tubuh korban? Padahal, kasat mata saja bisa terlihat,” lanjut Yan.

Hasil autopsi yang dilakukan setelah ekshumasi menunjukkan adanya tanda-tanda kekerasan dari kepala hingga kaki, yang menurutnya membuktikan bahwa kematian korban bukan disebabkan oleh kecelakaan biasa, melainkan akibat penganiayaan berat.

Selain itu, Yan mengkritik pengabaian terhadap faktor relasi kuasa dalam kasus ini, mengingat pada malam kejadian korban berada bersama dua atasan langsungnya. Ia juga menyoroti minimnya perlindungan terhadap dua perempuan yang terlibat dalam proses hukum, yakni tersangka Misri dan saksi Putri.

“Beberapa kali pemeriksaan dilakukan tanpa pendamping dari UPTD PPA NTB. Mereka rentan diintimidasi dan dikriminalisasi atas sesuatu yang mereka sendiri tidak pahami,” ujar Yan.

Aliansi juga memprotes langkah tiga anggota Bareskrim yang menemui tersangka Misri di Rutan Polda NTB tanpa pemberitahuan kepada penasihat hukum. Meski diklaim sebagai kunjungan asistensi, mereka menilai tindakan itu menunjukkan buruknya koordinasi internal kepolisian.

“Kami khawatir pelaku dengan motif yang sebenarnya justru sedang menertawakan institusi kepolisian karena berhasil mengelabui sistem hukum kita. Ini menyangkut marwah Bapak Kapolri dan Kapolda NTB,” ucapnya.

Untuk itu, Aliansi Reformasi Polri NTB mendesak dibentuknya tim pencari fakta independen yang melibatkan unsur eksternal seperti Kompolnas, Komnas Perempuan, akademisi, kejaksaan, serta Kementerian Komunikasi dan Digital, khususnya untuk memeriksa bukti elektronik seperti data dari ponsel dan CCTV.

“Kasus ini tidak bisa selesai dengan pendekatan konvensional. Harus ada pengawasan ekstra agar keadilan benar-benar ditegakkan, bukan sekadar formalitas,” tegas Yan.