Oleh: Harianto
Jurnalis freelance & peneliti di Lombok Research Center (LRC)

KORANNTB.com – Di dalam ruangan yang sederhana itu, pada Selasa pagi 15 Juli 2025, para perencana duduk melingkar di Aula Bappeda Lombok Timur. Tidak ada sorotan kamera atau gegap gempita seremoni.

Tapi diskusi hari itu menyimpan satu hal yang sangat penting bagi masa depan Lombok Timur tentang bagaimana menyelaraskan arah, menakar capaian, dan merancang masa depan melalui dokumen bernama RPJMD dan Renstra OPD.

RPJMD, akronim dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, tak lagi sekadar lembaran kebijakan. Ia kini sedang ditakar ulang dengan pendekatan baru bernama Theory of Change (ToC), yang mencoba membedah logika perubahan dengan lebih jernih dan terukur.

Link Banner

Dari ruang itulah muncul satu simpul refleksi, membangun daerah bukan sekadar tentang mencetak angka pertumbuhan, tapi bagaimana angka itu menyentuh kehidupan yang paling konkret—pertanian, desa, dan kesejahteraan yang bisa dirasakan rakyat.

Muhammad Subhan, Kabid P2EPD Bappeda, membuka diskusi dengan pengakuan jujur bahwa saat ini birokrasi sedang berjibaku dengan waktu. Dokumen-dokumen penting, dari RPJMD hingga Renstra OPD, dituntut lahir bersamaan.

Di tengah desakan administratif itu, hadir pula kegamangan soal arah. Ketika RPJPD belum rampung, sementara visi-misi kepala daerah harus diselaraskan, ruang tafsir menjadi terlalu luas, bahkan bisa liar.

Namun justru dari ruang tafsir itulah, semangat sinergi lahir. SMART—akronim dari Sejahtera, Maju, Adil, Religius, dan Transparan—menjadi kompas nilai yang menuntun arah pembangunan bupati dan wakil bupati terpilih untuk periode 2025-2029.

Tapi pertanyaannya kemudian, bagaimana SMART bisa diterjemahkan menjadi indikator yang konkret? Bagaimana SMART bisa berdiri di tengah ladang-ladang cabai yang menguning, atau di pinggiran desa yang bergulat dengan keterbatasan fiskal?

Diskusi makin dinamis ketika menyentuh sektor pertanian. Inilah sektor yang konon paling besar kontribusinya terhadap PDRB Lombok Timur, tapi nyaris nihil dalam kontribusi terhadap PAD.

Di sinilah kontradiksi itu muncul. Sektor yang memberi kehidupan, tetapi tak dianggap menghasilkan uang bagi kas daerah. Maka yang lahir adalah perdebatan filosofis dan teknis sekaligus—tentang apakah pertanian hanya kontributor pasif, atau bisa menjadi katalisator ekonomi lokal.

Indikator Kesejahteraan

Unwanul Hifzi, staf perencana yang kritis ini menggarisbawahi bahwa indikator yang digunakan oleh OPD harus berasal dari akar logika perubahan. Tidak boleh lagi hanya mengulang pola copy-paste seperti tahun-tahun sebelumnya. Produktivitas, daya saing, dan nilai tambah mesti dibaca sebagai jalan menuju perubahan, bukan sekadar retorika.

Bahkan lebih jauh Akhmad Saripudin, konsultan yang diminta oleh LRC untuk memfasilitasi kegiatan diskusi ini mengusulkan agar OPD dapat mengukur kontribusinya terhadap peningkatan PAD secara progresif. Tahun pertama meningkatkan produktivitas, tahun kedua memetakan komoditas unggulan, tahun ketiga menargetkan kontribusi konkret terhadap PAD.

Diskusi menjadi lebih tajam ketika menyentuh wilayah transmigrasi. Wilayah seperti Jeringo dan Sambelia disorot sebagai kawasan pertumbuhan berbasis pertanian. Tapi pertanyaan dasarnya adalah apakah wilayah transmigrasi ini benar-benar inklusif?

Pembina dan peneliti Lombok Research Center (LRC), Dr. Maharani menyebutnya sebagai “0,0% perhatian dalam fiskal”. Kawasan ini disebut dalam RPJMN sebagai imperatif pusat, tapi nyaris absen dalam logika fiskal daerah.

Maka solusinya adalah menyusun indikator tersendiri—bukan dalam kerangka pertumbuhan ekonomi, melainkan sebagai wilayah khusus yang tetap harus mendapat perhatian pembangunan.

Satu hal yang menarik, diskusi ini tak melulu teknokratis. Ada rasa was-was yang kental ketika Akhmad Saripudin sekali lagi mengingatkan, “Ruang tafsir ini bisa terlalu luas, dan bisa jadi OPD teknis menafsirkannya lebih liar.” Ia menyarankan juga perlu adanya garis demarkasi yang jelas dan terukur.

Kepastian istilah, diksi, bahasa dan struktur logika ToC menjadi penting. Dari situlah muncul usulan untuk memecah indikator menjadi tahapan lima tahun, dari produktivitas menuju PAD.

Sektor pertanian bisa menjadi jalan menuju kesejahteraan, bukan lagi impian kosong. Tapi untuk mencapainya, ada kerja besar, yaitu dengan menghubungkan pertanian dengan industri pengolahan (Disperin), dengan pasar (Dinas Perdagangan), bahkan dengan BUMD sebagai mitra. Sebab, nilai tambah bukan sekadar memanen lebih banyak, tapi menjual lebih cerdas.

Sesi diskusi berlanjut ke Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD). Di sinilah peran desa dibicarakan. Indikator kemandirian desa, kata Akhmad, harus lebih dari sekadar angka. Harus ada regulasi, perangkat hukum, dan yang lebih penting adalah keberanian untuk membedah potensi desa sebagai pilar ekonomi.

Baiq Titis Yulianty sebagai Koordinator Program INKLUSI-BaKTI, menutup sesi dengan rencana yang lebih konkret, yakni asistensi ke DPMD dan Dinas Pertanian, sebagai titik awal membumikan dokumen perencanaan ke dalam kenyataan agar lebih inklusif dan kontekstual.

Dari ruang sederhana di Bappeda itu, kita belajar bahwa merancang masa depan bukan hanya soal menyusun dokumen. Tapi juga tentang keberanian menakar arah, menyambung makna, dan merajut harapan. Di sanalah pembangunan menjadi lebih dari sekadar tugas birokrasi—ia menjadi seni membaca denyut kehidupan.