Warga Dua Desa di Lombok Tengah Desak Redistribusi Lahan 355 Hektare
KORANNTB.com – Warga Desa Karang Sidemen dan Desa Lantan di Kabupaten Lombok Tengah bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTB mendesak pemerintah segera menuntaskan redistribusi lahan seluas 182 hektare di Karang Sidemen dan 173 hektare di Desa Lantan. Lahan tersebut selama ini telah digarap oleh ratusan kepala keluarga.
Desakan itu disampaikan dalam forum mediasi yang digelar di Kantor Bupati Lombok Tengah pada Kamis (24/7). Forum dipimpin oleh Sekretaris Daerah sebagai moderator, serta dihadiri Direktur Land Reform ATR/BPN RI, Kanwil ATR/BPN NTB, Kantor Pertanahan Lombok Tengah, Kepala Desa Lantan, Kepala Desa Karang Sidemen, serta puluhan perwakilan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Karang Sidemen.
Tanah seluas total 355 hektare itu telah menjadi sumber penghidupan warga selama puluhan tahun. Di atas lahan tersebut mereka bercocok tanam, membangun rumah, dan menggantungkan masa depan keluarga. Namun, hingga kini, status hukum lahan tersebut belum jelas meski pengajuan redistribusi melalui program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) telah dilakukan.
Ketidakpastian ini menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup warga. Tanpa kejelasan hukum, mereka terus terancam konflik dengan pihak perusahaan, potensi kriminalisasi, hingga konflik agraria yang berkepanjangan.
Redistribusi tanah dinilai mendesak, tidak hanya sebagai amanat Perpres 86/2018 jo. Perpres 62/2023 tentang Reforma Agraria, tetapi juga demi terciptanya keadilan sosial, kedaulatan pangan, dan ketenangan hidup masyarakat lokal. Penundaan yang terus berlangsung dinilai berisiko menambah ketegangan serta kerugian baik bagi warga maupun pemerintah daerah.
Dalam forum tersebut, warga secara tegas menolak keterlibatan PT Tresno Kenangan, perusahaan yang mewarisi hak erfacht dari keluarga Soetrisno, dalam skema TORA. Menurut warga dan WALHI, perusahaan tersebut tidak pernah memiliki Hak Guna Usaha (HGU), sehingga tidak memenuhi ketentuan sebagai subjek dalam program TORA.
“Sejak awal kami tidak pernah dilibatkan dalam rapat-rapat GTRA provinsi. Sekarang justru ada upaya melibatkan perusahaan yang dulu menindas warga. Orang tua kami dipaksa bekerja tanpa upah layak di bawah keluarga Soetrisno. Luka itu belum sembuh,” tegas Suparman, perwakilan LMDH Karang Sidemen.
Kepala Desa Lantan, Erwandi, menyampaikan hal senada. “Warga kami tidak menginginkan perusahaan ini kembali, karena trauma mendalam. Warga hanya ingin kepastian hukum dan redistribusi yang adil, agar tanah bisa dikelola masyarakat sesuai aturan,” ujarnya.
Direktur WALHI NTB, Amri Nuryadin, menyampaikan lima poin sikap dalam forum tersebut:
- Mempertanyakan asal-usul istilah “eks HGU PT Tresno Kenangan” karena perusahaan ini tidak pernah memiliki HGU, hanya hak erfacht.
- Meminta penjelasan dasar hukum jika perusahaan, pemerintah daerah, atau bank tanah dimasukkan sebagai subjek TORA karena dinilai bertentangan dengan Perpres 86/2018 jo. Perpres 62/2023.
- Menuntut tindak lanjut atas berita acara audiensi dengan Dirjen Pentag ATR/BPN RI saat warga Karang Sidemen melakukan audiensi di Jakarta.
- Menegaskan komitmen warga untuk menyisihkan 30 hektare lahan untuk kawasan perlindungan DAS, fasilitas umum, dan sosial, serta 152 hektare lainnya untuk dikelola oleh 520 kepala keluarga.
- Meminta setiap keputusan atau tanggapan pemerintah disampaikan juga kepada Komnas HAM, sehubungan dengan surat tembusan yang sebelumnya diterima oleh WALHI dari lembaga tersebut.
Pemerintah Akui Tak Ada HGU
Direktur Land Reform ATR/BPN, Rudi, menegaskan bahwa pemerintah tidak menemukan bukti penerbitan HGU atas nama PT Tresno Kenangan.
“Kami sepakat, berdasarkan data dan berkas yang ada, tidak pernah terbit sertifikat HGU PT Tresno Kenangan. Yang ada hanya lahan eks erfacht keluarga Soetrisno. Kami hadir di sini bukan untuk berpihak pada salah satu pihak, tapi memastikan redistribusi berjalan adil dan tidak memicu konflik baru di kemudian hari,” katanya.
“Karena bagaimanapun semua pihak, termasuk perusahaan, harus diakomodir kepentingannya, sesuai dengan penyataan Menteri Hadi (saat menjabat Menteri ATR/BPN) bahwa jika masih ada lahan yang dikelola/dikuasai eks pemilik/keluarga Soetrisno maka perlu juga diakomodir,” ujarnya menambahkan.
Plt Kakanwil ATR/BPN NTB, Lutfi, mengungkapkan bahwa PT Tresno Kenangan sempat mengajukan izin HGU sebagai transformasi dari hak erfacht sebelumnya. Ia juga menjelaskan bahwa Bale Mediasi akan memfasilitasi dialog dan kesepakatan antar pihak sebelum GTRA Provinsi dan Pusat mengambil keputusan final.
“Bale Mediasi bukan pengganti GTRA, tetapi berfungsi mempercepat proses. Hasil mediasi akan dibahas dalam rapat GTRA. Kami pastikan perwakilan warga dan WALHI diundang langsung,” katanya.
Konflik redistribusi lahan eks erfacht ini bukan perkara baru. Pengajuan TORA oleh warga telah bergulir lama, namun belum juga membuahkan hasil. Warga bahkan melaporkan dugaan maladministrasi ke Ombudsman NTB, dengan menuding BPN lamban menindaklanjuti permohonan redistribusi tersebut.
Amri kembali menegaskan bahwa tanah tersebut bukan HGU, melainkan hak erfacht keluarga Soetrisno yang telah berakhir sejak 1980, sehingga menjadi prioritas untuk redistribusi rakyat.
“Redistribusi tanah ini harus untuk rakyat. Menunda lagi berarti membiarkan konflik agraria terus berlarut, membuka peluang kriminalisasi, dan melanggengkan ketidakadilan struktural,” tegas Amri.
Menutup forum, Sekda Lombok Tengah, Lalu Firman, menyampaikan harapan agar sebagian lahan dapat dialokasikan sebagai aset daerah. “Hal ini dimaksudkan agar Pemda bisa membangun fasilitas publik yang bermanfaat langsung bagi kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa proses selanjutnya akan menunggu jadwal mediasi multi-pihak yang akan difasilitasi oleh Bale Mediasi Provinsi NTB.