Sepucuk Kertas Cinta di TKP Kematian Miranda
KORANNTB.com – Selembar kertas yang telah lusuh tergolek diam di sudut rumah kecil berwarna merah muda itu. Kalimat sederhana tertulis di sana, dengan tinta yang mulai memudar: “Istriku Miranda, aku sangat mencintaimu.”
Kata-kata itu barangkali ditulis dalam keheningan, mungkin di saat hati sedang penuh kasih. Tapi cinta yang tertulis itu tak mampu mencegah tangan yang sama untuk memiting leher perempuan yang menjadi alamat kata “istriku” di sana—hingga nyawanya melayang.
Baiq Miranda Puspa Fratiwi (28), ibu muda yang dikenal ramah oleh tetangga, ditemukan tak bernyawa di rumahnya di Lingkungan Kekere, Kelurahan Semayan, Praya, Lombok Tengah. Pelakunya diduga adalah orang yang paling dekat dengannya: suaminya sendiri, Fachrudin Azzahidi (36).
Menurut polisi, peristiwa ini bermula dari pertengkaran rumah tangga yang dipicu oleh ponsel. Fachrudin curiga, ingin memeriksa isi telepon seluler milik istrinya. Miranda menolak. Cekcok pun pecah. Dan dalam ledakan emosi yang singkat namun fatal, Fachrudin diduga memiting leher istrinya hingga tak sadarkan diri.

Sempat mengira istrinya hanya pingsan, Fachrudin menyelimuti tubuh Miranda. Tapi waktu berlalu, dan tak ada napas yang kembali. Kesadaran pun datang—terlambat. Ia kemudian berjalan ke Polres Lombok Tengah dan menyerahkan diri.
“Sudah, yang bersangkutan menyerahkan diri,” ujar Kasatreskrim Polres Lombok Tengah, Iptu Luk Luk Magnun, Minggu malam (3/8/2025).
Motif pembunuhan masih didalami. Dugaan soal perselingkuhan yang beredar belum dapat dikonfirmasi. Polisi kini memfokuskan penyelidikan pada bukti-bukti di lokasi kejadian dan hasil autopsi dari RS Bhayangkara.
Tapi bagi warga sekitar, tak ada penyelidikan yang bisa menjelaskan kenapa cinta bisa berubah menjadi kemarahan yang membunuh. Rumah kecil pasangan itu kini dipasangi garis polisi. Warga berdiri di luar pagar, diam, sebagian berbisik pelan, sebagian lainnya hanya menatap kosong. Tak percaya.
Kisah ini viral di media sosial. Bukan hanya karena kekerasan yang terjadi, tapi karena kontras yang ditinggalkan: selembar kertas penuh cinta, yang kini berubah menjadi simbol luka.
Dalam kertas itu, Fachrudin seolah ingin mengenang cinta yang pernah ada. Tapi cintanya tak menyelamatkan. Ia menyisakan ironi: bahwa kata-kata manis bisa kalah oleh ledakan amarah sesaat. Dan bahwa rumah bukan selalu tempat aman—kadang justru di sanalah cinta terakhir kali bernapas.