KOSLATA Dorong RPB Lombok Tengah Jadi Panduan Tangguh Bencana
KORANNTB.com – KOSLATA mengambil peran strategis dalam memfasilitasi penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Lombok Tengah 2025–2029. Melalui lokakarya yang mempertemukan pemerintah, akademisi, LSM, dunia usaha, media, dan masyarakat, KOSLATA memastikan dokumen ini lahir dari kolaborasi nyata demi ketangguhan warga menghadapi ancaman bencana.
Bencana tak pernah memberi tanda dan aba-aba sebelum datang, tapi Lombok Tengah memilih bersiap. Melalui Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) 2025–2029, daerah ini merajut strategi agar ancaman tak berubah menjadi petaka yang tak terkendali.
Rencana Penanggulangan Bencana Lombok Tengah yang tengah dibahas ini memiliki peran penting dalam kerangka kebijakan pembangunan daerah.
Dokumen ini bukan hanya amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, tetapi juga bagian dari Standar Pelayanan Minimum (SPM) sub-urusan bencana yang wajib dipenuhi setiap pemerintah daerah.
Penyusunan RPB melibatkan pendekatan multi-stakeholder atau pentahelix yakni pemerintah, masyarakat, dunia usaha, media, dan perguruan tinggi.
“Penanggulangan bencana adalah urusan bersama,” kata Sulistyono, Direktur KOSLATA saat pemaparan draft RPB Lombok Tengah tahun 2025-2029.
Berdasarkan Kajian Risiko Bencana (KRB), Lombok Tengah memiliki sepuluh ancaman bencana, dengan lima prioritas: gempabumi, tsunami, banjir, cuaca ekstrem, dan kekeringan. Prioritas ini ditetapkan untuk fokus mitigasi dan pengurangan risiko.
RPB juga berfungsi sebagai jembatan antara kebijakan nasional, provinsi, dan kabupaten. Integrasinya dengan RPJMD memungkinkan strategi penanggulangan bencana selaras dengan tujuan pembangunan daerah, termasuk ketahanan iklim.
Salah satu temuan penting adalah kapasitas fiskal daerah yang rendah. Proporsi belanja sub-urusan bencana menurun hingga 0,14% pada 2024. Hal ini membatasi kemampuan daerah untuk membiayai mitigasi, kesiapsiagaan, dan pemulihan pascabencana.
Selain itu, basis data penanggulangan bencana dinilai lemah. Tanpa data yang akurat, penetapan indikator kinerja dan proyeksi capaian menjadi tidak realistis.
“Data harus diperkuat jika ingin capaian yang terukur,” tegas Sulistyono.
Sementara itu, Agus Purbatin Hadi dari Universitas Mataram menambahkan dimensi komunikasi kebencanaan, yang terbukti krusial dalam mencegah disinformasi pascagempa 2018. Ia juga menekankan pentingnya memasukkan bencana sosial dan kearifan lokal ke dalam RPB.
Legalitas dokumen menjadi perhatian utama. RPB sebelumnya tidak dilegalisasi, sehingga implementasinya lemah. Efendi dari Bagian Hukum menyarankan minimal Peraturan Bupati untuk memastikan daya ikat.
Inklusi kelompok rentan seoerti perempuan, anak, lansia, dan penyandang disabilitas juga menjadi isu penting. Pendekatan partisipatif dalam setiap tahap penanggulangan bencana dapat meningkatkan efektivitas strategi.
Menutup diskusi, Lalu Sri Kartanayang, Kabid PK BPBD, menegaskan bahwa mitigasi adalah investasi. “Mobil tangki untuk mengangkut bantuan air bersih yang kita siapkan itu akan mengurangi beban kesehatan masyarakat apabila nanti terjadi bencana,” ungkapnya.
RPB Lombok Tengah kini menunggu tahap legalisasi dan finalisasi. Tantangannya jelas dengan memastikan dokumen strategis ini tidak hanya menjadi produk hukum, tetapi juga menjadi panduan praktis yang mengubah kesiapsiagaan menjadi ketangguhan nyata.
Sesuai UU Nomor 24 Tahun 2007 menyebutkan penyelenggaraan penanggulangan bencana mesti berlandaskan pada prinsip-prinsip kemanusiaan, keadilan, kesamaan kedudukan, keseimbangan, ketertiban, kebersamaan, kelestarian lingkungan, dan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Lokakarya Pemangku Kepentingan Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana Kabupaten Lombok Tengah ini digelar di Hotel ILLIRA Lite Praya pada 7 Agustus 2025 atas dukungan Palladium melalui SIAP SIAGA di NTB.