KORANNTB.com – Modus mengklaim lahan menjadi hak milik hanya dengan bermodal Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) di Nusa Tenggara Barat (NTB) akhir-akhir ini sudah mulai memprihatinkan.

Banyak lahan yang diklaim dimiliki perorangan atau kelompok orang hanya dengan modal SPPT tanpa kelengkapan dokumen izin lainnya.

Ironisnya lagi, modus tersebut sudah merambah kawasan hutan yang tidak diperkenankan adanya kepemilikan apalagi hanya berbekal SPPT.

Banyaknya perorangan yang memegang SPPT karena lemahnya verifikasi lahan yang diklaim menjadi objek pajak. Pemerintah mengejar pendapatan pajak, sayangnya tidak dibarengi dengan verifikasi lahan, baik luas lahan maupun titik koordinat lahan yang diklaim. Celah tersebut yang sering dikelabui untuk mendapatkan SPPT.

Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi NTB mewanti-wanti adanya SPPT yang terbit di kawasan hutan di NTB.

Kabid Planologi dan Kemanfaatan Hutan LHK NTB, Burhan, mengatakan jika ditemukan adanya indikasi SPPT masuk dalam kawasan hutan, maka pemerintah tidak segan untuk melakukan penindakan dengan mencabut SPPT tersebut.

“Kalau ada indikasi dan kami lakukan verifikasi pasti kami cabut supaya tidak salah objek pajak,” katanya ditemui di ruang kerja, Kamis, 11 September 2025.

Bukan hanya SPPT, bahkan sertifikat pun dapat dicabut jika menyalahi aturan. “Jangankan SPPT, sertifikat pun kami bisa (cabut),” tegasnya.

Bono sapaan akrab pria asal Bima ini tak menampik jika SPPT tanpa lahan yang jelas banyak terbit di NTB. Itu karena mudahnya menerbitkan SPPT tanpa kejelasan status kepemilikan lahan.

“Kalau penerbitan SPPT kan berdasarkan kepemilikan, kalau merasa memiliki dia membayar pajak. SPPT kan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, dalam SPPT kita tidak tahu tanahnya di mana, tidak punya koordinat,” ujarnya.

Dia menjelaskan, kawasan hutan yang dimaksud meliputi hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Pada wilayah tersebut tidak boleh dimiliki secara perorangan.

Dia menjelaskan, LHK memiliki riwayat kawasan hutan maupun lahan yang ada di NTB berdasarkan dokumen yang dicatat bahkan sejak zaman kolonial.

“Saya mulai dari kawasan hutan, semua sudah punya proses penjang. Paling baru tahun 82, paling lama ada yang zaman Belanda, proses penetapan penunjukan dan sebagainya, sehingga bukti dokumen kami punya,” jelasnya.

“Tapi secara nasional untuk NTB tahun 82 zaman Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Meskipun parsialnya ada yang tahun 90-an,” katanya.

Modus Menggiurkan

Oknum-oknum yang menerbitkan SPPT dengan modal mengklaim lahan yang bukan miliknya, seringkali mengincar investor untuk menyewa lahan tersebut. Tidak jarang banyak investor yang tidak paham kewajiban-kewajiban kelengkapan dokumen sehingga mengira SPPT adalah dokumen yang sah dalam berinvestasi.

Media ini menemukan indikasi penggunaan SPPT di NTB untuk mengelabui investor yang ingin berinvestasi. Biasanya yang menjadi incaran adalah investor kecil. Bahkan lebih ironis, pelaku bisa saja bermufakat dengan oknum-oknum yang justru dipercaya investor itu sendiri.

“Mestinya mereka (investor) punya legal, yang mempelajari bagaimana hukum di negara yang menjadi tempat invetasi. Harusnya diteliti lebih dulu. Jangan sampai ada masalah ke depan,” ujarnya.

Lebih jauh Burhan menjelaskan, banyak SPPT yang dicabut LHK karena masuk dalam kawasan hutan.

“Banyak yang ditindak. Dicabut dan dihapus dari kewajiban membayar pajak terutang,” ujarnya.

Terakhir, LHK NTB mengatensi serius indikasi kasus yang mengklaim kawasan hutan dengan modus mengantongi SPPT ini.