KORANNTB.com – Desakan agar Presiden Prabowo melakukan reformasi Polri disuarakan sejumlah tokoh lintas bangsa yang tergabung dalam Gerakan Nurani Bangsa (GNB). Mereka telah bertemu presiden membahas itu dan mendapat dukungan Prabowo.

Sejumlah tokoh di Indonesia yang tergabung dalam GNB adalah istri Presiden ke-4 RI, Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid; teolog sekaligus filsuf Romo Franz Magnis-Suseno SJ; cendekiawan Muslim Prof. M. Quraish Shihab; dan kiai kharismatik KH Ahmad Mustofa Bisri.

Kemudian hadir juga, filsuf sekaligus astronom Karlina Rohima Supelli, Ketua Umum PGI Pendeta Jacky Manuputty, mantan Ketua Umum PGI Pendeta Gomar Gultom, Romo A. Setyo Wibowo SJ, mantan pimpinan KPK Erry Riyana Hardjapamekas, Laode Moh. Syarif, Makarim Wibisono, Komaruddin Hidayat, hingga budayawan Slamet Rahardjo.

Tuntutan mereka dalam mendorong reformasi Polri, karena menilai Polri perlu direformasi mulai dari struktur, budaya organisasi dan prilaku anggota sendiri. Deretan kasus-kasus yang melibatkan kepolisian yang tengah viral di media sosial menyulut percepatan reformasi kepolisian tersebut.

Didukung Akademisi Unram

Akademisi Universitas Mataram, Joko Jumadi menyambut positif gerakan reformasi Polri tersebut.

“Jadi memang kalau mau jujur bahwa sekarang ini salah satu tuntutan utama dari gerakan ini memang reformasi Polri,” katanya, Senin, 15 September 2025.

Dia mengatakan jika tuntutan tersebut gagal terwujud, berpotensi akan memicu gerakan yang lebih besar dan berdarah-darah.

“Kalau enggak selesai atau tidak terwujud di gerakan sekarang, saya khawatir menjadi masalah besar di kemudian hari karena akan menumpuk yang menyebabkan menjadi gerakan lebih besar dan berdarah. Sehingga memang kita berharap tuntutan dipenuhi,” ujarnya.

Joko menilai tidak hanya struktur Polri yang direformasi, tetapi juga budaya di organisasi kepolisian.

Dia mengatakan fungsi Polri ada Harmoni, Keamanan, dan Ketertiban Masyarakat (Harkamtibmas) dan penegakan hukum. Namun yang lebih dominan saat ini fungsi Polri pada penegakan hukum, sehingga rentan penyalahgunaan kekuasaan.

“Banyak hal pertama ada fungsi polri dari sisi Harkamtibmas dan ada fungsi penegakan hukum. Cukup serius penegakan hukum lebih dominan, yang dominan menyebabkan seringkali penyalahgunaan kekuasaan,” ujarnya.

Ini juga terkait dengan revisi KUHAP saat ini, di mana kewenangan pengawasan penyelidikan Polri tidak ada. Hanya pengawasan di bidang penyidikan yang ada, sehingga cukup rentan koruptif dan kriminalisasi.

“Ketika bicara soal itu ada wacana memungkinkan fungsi penegakan hukum dipisahkan dari harkamtibmas, kalau bicara jeleknya Polri ada di penegakan hukum penyidikan dan lalulintas. Itu paling mendasar dilakukan reformasi,” jelasnya.

Polri memang memiliki pengawasan di internal dan eksternal. Intenal Polri ada Propam yang mengawasi kinerja anggota dan di eksternal ada Kompolnas. Namun seiring waktu Kompolnas justru lebih condong menjadi juru bicara kepolisian alih-alih menjalankan fungsi pengawasan.

“Kompolnas seperti enggak ada taji,” sesal Joko.

Di bawah Mendagri

Polri saat Orde Baru berada di bawah ABRI. Kemudian setelah reformasi, publik mempercayai institusi tersebut di bawah langsung presiden. Namun kepercayaan publik tersebut kini diciderai dengan rentetan kasus-kasus yang menguras emosi publik.

Sehingga, banyak pihak yang mengusulkan Polri berada di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sehingga kekuasaannya tidak superpower seperti saat ini.

“Ada yang mengusulkan Polri tidak perlu di bawah presiden tapi Mendagri. Sehingga Polri tidak superpower seperti sekarang. Itu dari sisi kelembagaan,” ujarnya.

Kemudian ada juga yang mengusulkan fungsi penegakan hukum Polri dipisahkan ke lembaga lain. Polri hanya menjalankan Harkamtibmas, sementara fungsi penegakan hukum dipisahkan di lembaga berbeda.

“Reskrim diusulkan dipisah dari kepolisian. Itu secara struktural, secara kultur militeristik masih kelihatan di kepolisian, di sisi lain banyak pihak yang menyoroti budaya korupsi yang masih terlihat dalam banyak,” katanya.

Kekecewaan publik di institusi kepolisian sudah semakin memuncak. Tagar-tagar di media sosial seperti #percumalaporpolisi, #noviralnojustice, #1Hari1Oknum, #LaporDamkarSaja dan terakhir #ReformasiPolri menjadi akumulasi kekecewaan publik terhadap institusi kepolisian.