KORANNTB.com – Pengamat politik Ray Rangkuti menilai reformasi terhadap institusi kepolisian sudah menjadi kebutuhan mendesak. Ia menyebut upaya memperbaiki Polri sulit dilakukan tanpa pergantian pimpinan di tubuh kepolisian.

“Saya sudah mendorong reformasi Polri sejak 13 tahun yang lalu. Sejak tahun 2012 saya sudah mengatakan semua institusi negara sudah kita reformasi, kecuali dua, kejaksaan dan kepolisian. Makin ke sini kebutuhan terhadap reformasi makin menguat,” kata Ray di Mataram, Lombok, kemarin.

Menurutnya, tuntutan reformasi Polri kini semakin kuat disuarakan publik, termasuk dalam aksi yang digelar di DPR pada 25–27 September. Ia menilai upaya perubahan di tubuh Polri akan sulit berjalan jika tidak diawali dengan pencopotan Kapolri.

“Semua upaya untuk reformasi polisi sulit dilakukan kalau tidak dimulai dengan mencopot Kapolri. Saya sudah berbicara soal pencopotan Kapolri hampir setahun lalu, khususnya saat muncul istilah Parcok (partai coklat),” ujarnya.

Ray menilai munculnya sejumlah insiden yang melibatkan aparat menjadi tanda lemahnya reformasi internal Polri. “Tidak pernah kita melihat ada kantor polisi dibakar massa sedemikian rupa, kecuali di eranya Pak Sigit,” katanya.

Terkait pembentukan tim transformasi Polri oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Ray menyebut hal itu sebaiknya dilakukan setelah pergantian pimpinan. “Bagi saya, tim itu seharusnya dibentuk nanti saat Kapolri baru, dalam rangka percepatan pelaksanaan implementasi hasil tim reformasi yang dibentuk oleh Presiden Prabowo,” ucapnya.

Ia menilai, Polri sudah diberi waktu cukup panjang untuk memperbaiki diri namun belum menunjukkan hasil yang signifikan.

“Kita sudah memberi kesempatan polisi 20 tahun untuk mereformasi dirinya, hasilnya seperti yang sekarang. Oleh karena itu butuh dokter, enggak bisa lagi lewat kemampuan sendiri,” katanya.

Ray menjelaskan reformasi Polri harus dilakukan pada tiga aspek, yaitu institusional, struktural, dan moral. Ia mengusulkan agar struktur kepolisian dapat ditata ulang di bawah kementerian khusus yang mengawasi bidang keamanan.

“Bisa saja secara struktural di bawah presiden atau kementerian, jadi Kapolri tunduk di bawah kementerian kepolisian dan keamanan,” tuturnya.

Menurut Ray, ruang lingkup kerja Polri yang sangat luas perlu ditata ulang agar lebih fokus pada tiga fungsi utama, yakni penegakan hukum, ketertiban, dan pengayoman masyarakat.

“Apakah wilayah polisi seperti yang sekarang, dari A sampai Z mereka ada, di bawah satu komando sampai urusan STNK dan SIM mereka ikut. Ikon polisi ada tiga, penegakan hukum, ketertiban, dan pengayoman. Ini bisa dibagi, misalnya penegakan hukum berbagi dengan kejaksaan, pengayoman dengan Satpol PP, pengamanan dengan polisi hutan atau laut,” jelasnya.

Ray juga menyoroti status Polri yang menggunakan pangkat jenderal meskipun merupakan institusi sipil.

“Semua itu bermuara di Kapolri yang merupakan jenderal. Jenderal ini ada di militer. Polisi mestinya enggak ada namanya jenderal, karena dia sipil. Jabatan jenderal hanya di militer,” kata Ray  Rangkuti menegaskan.