AMSI Minta Reformasi Polri Perkuat Keamanan Siber dan Lindungi Jurnalis
KORANNTB.com – Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) menghadiri audiensi dengan Komite Percepatan Reformasi Polri di Gedung Sekretariat Negara, Rabu, 26 November 2025. Ketua Umum AMSI Wahyu Dhyatmika hadir langsung dalam pertemuan tersebut, didampingi Ketua Badan Pengawas dan Pertimbangan AMSI Wenseslaus Manggut serta jajaran Pengurus Nasional AMSI, di antaranya Darojatun (Pemred Merdeka.com), Andi Muhyiddin (Pemred Republika), Fathan Qorib (Pemred Hukumonline), dan Elin Kristanti selaku Direktur Eksekutif AMSI.
Dari Komite Percepatan Reformasi Polri hadir Badrodin Haiti, Idham Aziz, dan Ahmad Dofiri. Dalam pertemuan itu, Badrodin berharap dialog dengan kalangan pers bisa menampung rekomendasi untuk reformasi Polri mengingat media merupakan pihak yang paling sering berinteraksi dengan kepolisian. “Masukan ini sangat berarti karena teman-teman pers erat kaitannya dengan kepolisian. Silakan jika teman-teman ingin menyampaikan masukan hingga solusi,“ ujar mantan Kapolri itu.
AMSI menyampaikan sejumlah masukan, salah satunya terkait riset yang dilakukan tahun lalu mengenai serangan siber DDoS (Distributed Denial of Service) yang membuat sejumlah situs media tidak bisa diakses dan menyebabkan biaya server meningkat.
Menurut Ketua Umum AMSI Wahyu Dhyatmika, dari tujuh media yang menjadi responden dalam riset tersebut, empat mengalami serangan ketika sedang memberitakan kasus terkait kepolisian. “Reformasi Polri di era digital harus menempatkan keamanan siber media sebagai bagian dari keamanan nasional, karena serangan siber terhadap media pada hakikatnya adalah serangan terhadap demokrasi,” kata Wahyu.
Isu keselamatan jurnalis juga menjadi poin penting yang disampaikan AMSI. Berdasarkan riset kolaboratif AMSI bersama Populix dan Yayasan TIFA berjudul “Keselamatan Jurnalis di Era Digital” pada 2024, ancaman terhadap jurnalis hadir dalam dua bentuk yang sama berbahaya: kekerasan fisik di lapangan dan serangan digital yang sistematis. AMSI menilai Polri membutuhkan reformasi menyeluruh agar jurnalis dapat bekerja tanpa ancaman dan publik tetap memperoleh hak atas informasi.
Wenseslaus Manggut, Ketua Badan Pertimbangan dan Pengawas AMSI, mengingatkan bahwa AMSI merupakan bagian dari Komite Keselamatan Jurnalis. Ia menyoroti banyaknya ancaman terhadap jurnalis di daerah, serta masih adanya aparat kepolisian di luar Jakarta yang belum memahami bahwa sengketa pers harus melalui mekanisme Dewan Pers. “Dialog seperti ini perlu dihidupkan lagi, karena sering tidak efektif di daerah. Jika ada jurnalis yang terancam, kami pindahkan dulu ke Jakarta, karena kami merasa polisi di Jakarta lebih paham hal tersebut,“ ujar Wenseslaus.
AMSI juga menyoroti praktik pelabelan hoaks oleh aparat kepolisian terhadap berita media mainstream. Menurut AMSI, tindakan tersebut tidak dibenarkan karena setiap sengketa pemberitaan harus melalui mekanisme Undang-Undang Pers: hak jawab, hak koreksi, serta proses di Dewan Pers. Pelabelan hoaks kerap disertai intimidasi, permintaan informal untuk menghapus berita, hingga ancaman proses hukum, padahal produk jurnalistik dilindungi UU Pers. Praktik tersebut dinilai dapat menggerus legitimasi laporan jurnalistik yang akurat, terutama yang bersifat kritis, dan membuka peluang kriminalisasi terhadap jurnalis maupun media.
Dalam audiensi itu, AMSI juga menyampaikan apresiasi kepada Polri yang selama ini tetap merujuk pada UU Pers dalam banyak kasus yang melibatkan media. AMSI menilai hal tersebut penting diperkuat dan dijadikan standar institusional yang konsisten hingga ke tingkat kepolisian daerah dan lapangan.
AMSI mendorong Polri lebih proaktif melindungi kebebasan pers, termasuk memastikan setiap jurnalis dapat bekerja tanpa intimidasi serta menjamin media dapat membela hak publik atas informasi yang akurat, independen, dan dapat dipercaya.
