Dwi Alam Ananami Putra

(Ketua Umum HMI Komisariat Lafran Pane Unram)

KORANNTB.com – Kita-kita ini, di bangsa yang dianugerahi kekayaan melimpah-ruah harus-haruslah pandai bertafakur sebagai bangsa. Rasa syukur akan nikmat dari Yang Maha Kuasa tetaplah kita panjatkan semata-semata untuk mengharapkan ridho dan ampunan-Nya.

Kehidupan kita dalam berbangsa, bernegara dan beragama sangat menjunjung tinggi nilai kebhinekaan dan pluralitas. Karena Indonesia adalah bangsa yang dihuni oleh orang-orang yang mempunyai ke-khasan sendiri-sendiri. Karena saking khasnya kadang sulit bahkan tidak bisa ditebak apa yang nampak di sampul buku dan bagaimana sebenarnya isi buku tersebut. Memang harus diakui bahwa cara kita melihat sebuah peristiwa masih dangkal dan sangat parsial. Seringkali mata ini ditipu, dikibuli, dikecoh oleh apa yang terlihat. Dan yang terlihat hanyalah kulit buah bukan isi buahnya. Begitu pun dengan orang-orang Indonesia atau barangkali kita adalah orangnya.

Tuan dan puan, ada cerita pada zaman Nabi Sulaiman As. Sepasang merpati yang sedang bertengger di cabang pohon melihat seorang alim datang dengan sebuah buku yang dikepit di satu tangan dan tongkat di tangan yang lain. Seekor merpati berkata pada yang lain, “Mari terbang, orang itu bisa membunuh kita.” Pasangannya menyahut, “Dia bukan pemburu. Dia seorang ulama, tidak akan membahayakan kita.” Sang ulama melihat keberadaannya dan seketika memukulkan tongkatnya ke merpati betina, lalu ia sembelih untuk dimakan. Merasa dizalimi, pasangannya mengadu ke Nabi Sulaiman.

Kemudian ulama itu pun dipanggil ke Istana. “Kejahatan mana yang saya lakukan?” sanggahnya. Bukannya daging merpati itu halal,” lanjutnya. Merpati jantan menimpal, “Saya tahu bahwa hal itu halal bagimu. Tetapi, jika datang untuk berburu, engkau semestinya mengenakan pakaian seorang pemburu. Engkau curang, datang berlagak sebagai ulama.”

Bukankah seperti kisah ulama pemburu itu wajah keberhidupan kita? Bukankah yang lebih kau tonjolkan adalah lahir dibandingkan batin? Seakan-akan sudah merasa beres karena telah dibaluti oleh busana dan pakaian yang kamu kenakan. Seolah-olah busanamu yang kelihatannya bersih nan suci itu mewakili jiwa dan perangai aslimu. Jangan-jangan kita lebih bangga dan merasa hebat karena atribut dan simbol yang tertempel pada tubuh? Sebagai lambang bahwa agar kita dikira orang-orang yang sudah lurus. Lantas dengan mudah kau mengutuk orang lain karena berbeda cara pakainnya denganmu. Lantas kau berani mencerca orang lain karena dalam pandanganmu ia menjijikkan dan hina.

Renungilah kata-kata dari Moh. Hatta. Baginya, berpedomanlah pada ilmu garam, bukan pada ilmu gincu. Pada garam, filosofinya ‘terasa tapi tak kelihatan’ sedang sifat gincu ‘terlihat tapi tak terasa’. Artinya, sepucuk garam jika dituangkan dalam segelas air putih maka warna air tetaplah putih, namun rasanya adalah rasa garam. Sedangkan dua tetes gincu jika ditumpahkan dalam segelas air putih maka rasanya tetaplah rasa air, tetapi warnanya adalah warna gincu.

Garam atau gincukah kamu? Terjemahannya ialah pangkat, jabatan, profesi, gelar dan pakaian yang melekat padamu sekarang semua hanyalah gincu. Memang terang-benderang untuk dipandang dan sedap untuk dilihat, tapi belum tentu bisa memberikan rasa. Kamu jadi pejabat negara yang tugasnya melayani rakyat, tapi rasanya bukan seperti pejabat. Kamu berpangkat jenderal bintang empat, tapi rasanya tidak seperti jenderal. Profesimu sebagai guru yang perannya adalah mencerdeskan murid-muridmu, tapi rasanya kamu bukanlah seorang guru. Gelarmu tinggi nan mulia sebagai profesor, ustadz atau ulama, namun rasanya kamu bukanlah termasuk golongan semua itu.

Mungkin saat ini kita sedang bertanya pada relung hati yang dalam. Selama ini yang kita persembahkan adalah berupa warna atau rasa? Dalam Islam misalnya, ke mana-mana peci selalu dipakai. Sorban tak pernah lepas dari pundak. Janggut panjang rajin dirawat. Tanda hitam pada dahi tepampang jelas. Bagi yang hawa, berhijab, berjilbab adalah keutamaannya. Sebagian juga telah memilih menggunakan cadar. Kesemuanya itu amatlah baik dan penting. Dan itulah warnanya (gincu) Islam.

Tapi apa sekedar itu esensi kita ber-Islam, tuan dan puan? Sadarkah kita bahwa banyak yang memberikan rasa (garam) Islam meskipun dia tidak menampilkan warna keislaman-nya. Tapi kadang mereka yang bergincu selalu merasa lurus sendiri dan gampang menghakimi kepada saudara-saudarnya yang garam. Dituduh kafir. dikatai pengikut kaum yahudi dan nasrani. Disoraki ahli neraka. Yang calon penghuni surga hanyalah mereka yang beratribut lengkap tadi.

Lalu di mana rasa Islam kita? Rasa mengasihi dan menyayangi sesama manusia dan makhluk lain ciptaan Tuhan. Jiwa rendah hati. Keluhuran budi dan pekerti. Akhlak dan moralitas yang terpupuk. Sudah hilang dan hancurkah rasa itu? Berani sekali kita memprivatisasi kesucuian untuk diri sendiri dan melabelisasi orang lain dengan kekotoran. Warna yang kita pentaskan memang warna Islam, tapi tidak ada rasa Islam.

Emha Ainun Nadjib, dalam puisinya melukisakan:

“Aku ingin turut sembahyang tetapi pakaianku satu-satunya ini sudah kotor dan tubuhku pun kotor,” berkata pengemis tua itu di pintu gerbang masjid. Orang-orang melewatinya saja.

Ketika sembahyang hendak dilangsungkan, seseorang datang dan menghardiknya: “hendak mencuri sandal kamu ya!”

Pengemis tua itu pergi dan Tuhan Allah menyertai. Meninggalkan para jamaah yang ramai.

Dwi Alam Ananami Putra

Kirim artikel Anda di email [email protected]