KoranNTB.com – Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI bersama Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB mengggelar rapat membahas percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi Lombok pasca gempa.

Anggota DPD RI, Hj Baiq Diah Ratu Ganefi mengkritisi lambannya proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana gempa bumi Lombok, NTB.

Pasalnya, sudah tiga bulan berlalu, proses rehabilitasi dan rekonstruksi yag ditandai dengan pembangunan kembali rumah masyarakat korban gempa masih belum maksimal hingga saat ini.

“Data dan catatan yang kami serap di lapangan bahwa penanganan (pasca gempa) hingga saat ini masih sangat lambat. Ini harus dipercepat,” kata Baiq Diyah, dalam rapat koordinasi percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana, Selasa (18/12) di ruang rapat utama, Kantor Gubernur NTB di Mataram.

Rapat dihadiri Gubernur NTB Zulkieflimansyah, Ketua Komite II DPD RI Parlindungan Purba, anggota DPD RI, Baiq Diyah Ratu Ganefi, Staf Ahli Menteri PUPR Bidang Keterpaduan Pembangunan, Achmad Gani Ghazali, Dansatgas PDB Gempa Lombok, Kolonel Inf Farid Makruf, dan sejumlah pejabat terkait lainnya.

Baiq Diyah yang merupakan anggota Komite II DPD RI menjelaskan, salah satu tugas Komite II adalah penanggulangan bencana.

Lewat rapat itu DPD RI ingin menyerap progress penanganan bencana di Lombok, sekaligus menemukan kendala-kendala untuk mencarikan solusi nantinya bersama pemerintah pusat.

Baiq Diyah mengaku miris melihat kondisi masyarakat korban gempa di Lombok, NTB, yang hingga saat ini seperti tergantung nasibnya.

Senator perempuan yang selalu turun ke lapangan ini, bahkan sempat terbawa emosi dan nyaris menangis saat memaparkan kondisi riil masyarakat korban gempa saat ini.

“Maaf saya terbawa emosi, saya sedih. Ada puluhan ribu rumah yang rusak, tapi faktanya sampai hari ini yang terbangun kembali masih sangat sedikit. Masih banyak masyarakat kita yang belum tinggal di rumah layak, padahal ini sudah musim hujan masyarakat butuh rumah,” tukas Baiq Diyah yang nampak menahan air mata.

Hal lain yang dikritisi Baiq Diyah adalah soal tidak adanya pihak yang menjadi penanggungjawab dalam Inpres No 5 Tahun 2018 tentang PDB Gempa Lombok.

Menurutnya, dalam Inpres tertera semua kementerian terlibat dan bertanggungjawab.

“Saya pikir perlu ada yang lebih spesifik dalam inpres, siapa yang  bertanggung jawab menjadi penanggungjawab utamanya. Mungkin BNPB kita dorong jadi koordinator penanggungjawab dari Inpres, biar bisa lebih cepat,” katanya.

Baiq Diyah mengatakan, akibat lambannya proses pembangunan rumah ini, banyak masyarakat yang mengeluh dan menyampaikan aspirasi mereka langsung ke kantor perwakilan DPD RI Provinsi NTB.

Ia berharap rapat koordinasi bisa menjadi jawaban dan bisa menjadi harapan baru bagi masyarakat korban gempa di NTB ini.

Ketua Komite II DPD RI, Parlindungan Purba memuji kiprah Baiq Diyah Ratu Ganefi yang selama ini kritis dan mengutamakan aspirasi masyarakat NTB.

“Kita bersyukur diNTB ada anggota DPD RI seperti Baiq Diyah. Asal soal NTB, ibu ini selalu minta ke saya untuk atensi segera. Karena itu kami datang ke NTB,” kata Parlindungan.

Parlindungan mengamini apa yang dikatakan Baiq Diyah. Kesan lamban proses rehabilitasi dan rekonstruksi gempa Lombok memang jelas terlihat dari jumlah rumah yang sudah terbangun saat ini.

Ia mengatakan, jika dibandingkan dengan Sinabung di Sumatera Utara, pola penanganan gempa Lombok lebih bagus karena dana bantuan langsung dikelola masyarakat.

“Tapi tentu saja, dalam pelaksanaan teknis mungkin belum maksimal dan masih banyak kendala. Kendala ini yang ingin kita serap,” katanya.

Ia berharap setelah pertemuan nantinya ada kesimpulan bersama yang dibuat untuk percepatan.

“Pengalaman di Sinabung Sumut, itu  perlu koordinasi yang sangat erat antar Pemda dan juga Pemda dengan Pempus,” katanya.

Ia juga memuji kehadiran Gubernur NTB Zulkieflimansyah dalam rapat itu.

“Gubernur hadir, ini membuktikan sangat komit dengan  masyarajat NTB,” katanya.

Dalam rapat terungkap proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana gempa bumi Lombok, berjalan sangat lamban.

Hingga tiga bulan sejak ditetapkan masa rehabilitasi dan rekonstruksi, hingga saat ini baru sekitar 3,2 persen rumah yang sudah terbangun, dari total 75.665 unit rumah rusak berat di Lombok Utara, Lombok Barat, Lombok Timur, dan Kota Mataram.

Padahal dana tersalur sudah mencapai Rp1,5 Triliun.

Kepala BNPB, Willem Rampangilei menjelaskan, total rumah yang terverifikasi rsak akibat gempa bumi Lombok mencapai 216.519 unit tersebar di sejumlah daerah Kabupaten Kota di NTB.

Dari jumlah itu sebanyak 75.665 tergolong rusak berat dan mendapat dana stimulan Rp50 juta. 33 ribu rusak sedang mendapat Rp25 juta, dan 108 ribu rusak ringan mendapat Rp10 juta.

“Total dana stimulan yang dibutuhkan untuk semua rumah itu mencapai Rp5,66 Triliun. Hingga saat ini sudah tersalurkan sekitar 1,5 Triliun untuk sekitar 77 ribu Keluarga penerima,” kata Willem.

Willem menjelaskan, selain dana Rp1,5 T yang sudah tersalur itu, juga akan segera cair dana sekitar 1,4 T yang saat ini sedang dalam proses DIPA.

“1.544 T sudah disalurkan, dan Januari nanti akan cair lagi 1.446 T yang saat ini proses DIPA, jadi akan ada 3 T dari total Rp5.66 T yang dibutuhkan untuk seluruhnya,” kata Willem.

Hanya saja, papar dia, progress pembangunan rumah kembali memang sangat lamban.

Hingga saat ini setidaknya baru dikerjakan sebanyak 1.487 Unit Rumah Instan Sederhana Sehat/RISHA (40 selesai),  337 unit rumh kayu/RIKA (70 selesai), 600 Unit ruah konvensional/RIKO (26 selesai).

“Yang terealisasi pembangunannya hingga saat ini baru 3,22 persen, sangat kecil.Jadi memang perlu percepatan,” katanya.

Menurut Willem sejumlah hal yang masih menjadi kendala adalah ketersediaan bahan baku, serta kurangnya tenaga fasilitator dan tukang bangunan.

“Kondisi lapangan, dari 1.700 orang fasilitator yang ada sejak awal, saat ini tersisa 803 fasilitator saja, yang lain pulang kampung,” katanya.

Di sisi lain, papar Willem, kemampuan mencetak produksi panel untuk RISHA saat ini hanya mampu 30 unit rumah perhari.

“Padahal idealnya harus bisa 400 perhari,” katanya.

Staf Ahli Menteri PUPR Bidang Keterpaduan Pembangunan, Achmad Gani Ghazali mengatakan, untuk percepatan saat ini Kementerian PUPR sedang mendorong aplikator-aplikator panel.

Saat ini sudah dibentuk 53 aplikator, 17 diantaranya pengusaha lokal NTB.

“Ada 12 BUMN juga yang sudah membuat workshop untuk pengembangan kapasitas produksi panel RISHA,” katanya.

Gani mengakui, hingga saat ini masih banyak kendala, selain keterbatasan bahan panel RISHA juga SDM terutama tukang besi.

“Apalagi untuk merangkai besi RISHA sulit dan harus miliki keahlian tersendiri. Juga dibutuhkan ketekunan karena ini mengerjakan ribuan bukan hanya satu atau dua,” katanya.

Gani mengatakan, dari 800 tukang yang sudah dilatih, yang bertahan dan tersisa saat ini hanya 190 orang, yang lainnya  resign.

Menurut dia, untuk percepatan PUPR akan berupaya menambah tenaga fasilitator dan tukang, tak menutup kemungkinan tenaga tukang diambil dari luar NTB.

“Untuk fasilitator kita punya 805, termasuk 496 insinyur muda dari PUPR. Tapi mereka minta libur akhir tahun. Jadi kita akan upayakan 715 orang fasilitator lagi untuk tambahan,” katanya.

Sementara itu, Gubernur NTB Zulkieflimansyah mengatakan, pihaknya bersama BNPB sudah menggelar rapat dengan Wapres JK, November lalu di Jakarta.

Dari rapat itu diketahui Pemerintah sudah membentuk Satgas Penanggulangan Bencana untuk Palu dan Lombok.

“Sudah dibentuk Satgas penanggulangan bencana utk NTB dan Sulteng,” katanya.

Untuk Sulteng diketuai Wapres JK dan Ketua Harian Menkopolhukam Wiranto. Sedangkan untuk NTB diketuai Menko PMK Puan Maharani dan pelaksana harian Kepala BNPB Willem Rampangilei.

“Saya pikir pemerintah pusat sangat serius membantu. Tapi memang semua harus hati-hati karena ditakutkan uang habis, rumah belum terbangun,” katanya.

Gubernur Zul mengatakan, yang juga menjadi kendala saat ini adalah masalah koordinasi.

Sebab, dalam Inpres No 5 Tahun 2018 tidak ditegaskan peran Pemerintah Provinsi.

Sehingga dalam rehabilitasi dan rekonstruksi gempa Lombok, Pemprov NTB cenderung hanya sebagai pengawas saja.

“Ini yang masyarakat tidak tahu. Kita di pemprov hanya sebagai pengawas saja. Ini yang kita usulkan agar ada kebijakan biar Pemprov yang berada di depan,” katanya.

Menurut Zul, rumah yang harus dibangun juga bukan rumah biasa, tapi yang tahan gempa. Hal ini juga cukup rumit.

“Saya sempat ngotot sudahlah rumah biasa saja biar cepat. Tapi memang harus rumah tahan gempa, agar kalau gempa terjadi lagi tidak ada masalah,” katanya.

Ia mencontohkan, gempa bumi 5,7 Magnitudo yang kembali terjadi awal Desember lalu, sudah membuat masyarakat gelisah.

“Ini artinya memang pemerintah ingin rumah tahan gempa agar menghindari resiko. Tapi memang rumah tahan gempa ini rumit, di PUPR itu beda rumah ramah gempa dengan rumah tahan gempa,” katanya. (red/03)