■ Catatan Kunjungan UNU NTB ke China (1)

KoranNTB.com – Provinsi Sichuan di China (RRT) pernah luluhlantak dihantam gempa bumi tektonik berkekuatan 7.9 Magnitudo pada Mei 2008 silam.

Namun saat ini, setelah 10 tahun berselang Sichuan justru menjadi salah satu Provinsi paling maju di China.

Banyak hal yang bisa diambil pelajaran dari bagaimana pemerintah dan masyarakat disana menangani bencana, dan menyusun mitigasi yang terpadu dan holistik.

“Ada banyak yang bisa kita pelajari dari Sichuan tentang bagaimana mereka menglola bencana. Mereka bisa cepat bangkit, melakukan recovery pasca gempa bumi 2008. Hanya dalam 3 tahun setelah bencana, Sichuan justru jadi sangat maju. Bahkan saat ini Universitas Sichuan ada prodi Manajemen Kebencanaan, ini satu-satunya di dunia,” kata Rektor Universitas Nahdlathul Ulama Provinsi Nusa Tenggara Barat (UNU NTB), Hj Baiq Muliana, Rabu (2/12) di Mataram.

Baiq Muliana dan rombongan UNU NTB berkesempatan berkunjung ke Provinsi Sichuan dan Provinsi Hainan di China, 16-24 Desember 2018 lalu, atas undangan Konjen China di Denpasar, Gao Haodong.

Sebelumnya pada akhir Agustus 2018 lalu, Konjen China di Denpasar, Gao Haodong bersama rombongan berkunjung ke Lombok untuk menyampaikan rasa empati dan bantuan untuk korban gempa bumi melalui Posko NU Peduli di UNU NTB.

Haodong menyampaikan pemerintah dan masyarakat China bisa merasakan apa yang dirasakan masyarakat NTB yang dilanda bencana gempa bumi, karena China juga pernah merasakan bencana yang sama di Sichuan pada 2008 lalu.

Ia juga mengundang jajaran UNU NTB untuk berkunjung ke China dan melihat bagaimana Sichuan bisa bangkit kembali pasca bencana.

Di China, rombongan UNU NTB diterima jajaran pimpinan Universitas Sichuan, di Kota Chengdu, ibukota Sichuan, 17 Desember 2018. Rektor Universitas Sichuan, Prof Li Zhuyu, Kepala Prodi Manajemen
Kebencanaan dan sejumlah jajaran Dekan yang menjelaskan bagaimana Sichuan mampu segera bangkit setelah diterpa bencana.

“Ternyata memang luar biasa. Shicuan bisa bangkit melakukan recovery, rekonstruksi, hingga tahap pemulihan ekonomi tanpa uang dari pemerintah pusat. Mereka bangkit dengan bantuan Provinsi lainnya (yang
tidak terdampak bencana),” kata Baiq Muliana.

Pasca bencana yang menelan lebih dari 14 ribu jiwa dan menghancurkan sebagian besar fasilitas publik di Sichuan, semua Provinsi di China bergerak membantu.

Polanya, tiap Provinsi menangani satu Kabupaten terdampak gempa di Sichuan, sementara tiap Kabupaten di Provinsi lain itu juga dibebani menangani satu Kecamatan terdampak di Kabupaten yang ada di Sichuan.

“Pola mereka ini menarik, jadi berangkat dari rasa empati. Dana tidak dari pusat tapi dari Provinsi yang maju atau Provinsi lain yang tidak terdampak. Misalnya Guangdong, itu menangani Kota Cengdu ibukota
Sichuan, kemudian Kabupaten lain menangani Kecamatan terdampak, mereka
bantu mulai tanggap daruratnya sampai recovery bahkan hingga pemulihan
ekonominya,” katanya.

Menurut Muliana, hal ini pun dilakukan dengan sangat serius dan bertanggung jawab. Pejabat-Pejabat Provinsi dan Kabupaten yang bertanggungjawab menangani daerah terdampak bencana di Sichuan benar-benar turun ke lapangan dan mengawasi setiap perkembangan pendampingan yang dilakukan.

Penanganan pasca bencana di sana sangat komprehensif, dan pejabatnya tidak saling menunggu. Apalagi pejabat yang membidangi tugas itu, mereka turun terus mengawasi.

Sebab bagi mereka akan sangat malu jika tidak berhasil, karena ini menyangkut kehidupan dan nyawa manusia. Setiap dana yang digunakan harus jelas dan dapat dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya.

“Saya lihat China itu sudah berhasil membangun karakter malu orang
kalau tidak berguna bagi negara. Dan ini saya dengan langsung dari beberapa masyarakat yang kami temui disana. Baru saya dengar, mereka malu kalau tidak bisa berguna bagi negaranya. Ini karakter (kebangsaan) yang luar biasa,” katanya.

Selain kecepatan dalam penanganan pasca bencana, Provinsi Shicuan juga menjadi potret bagaimana mitigasi bukan lagi sekadar wacana.

Belajar dari pengalaman gempa bumi 2008 itu, sistem mitigasi bencana di sana terus diperkuat. Tujuannya tentu saja, agar jika bencana serupa terjadi, dampak korban jiwa dan kerusakan infrastruktur bisa semakin diminimalisir.

Salah satu contohnya adalah pembangunan jalur-jalur evakuasi yang merata dilakukan hingga ke desa-desa terpencil sekalipun. Bangunan yang dibangun dalam tahap rekonstruksi pun harus dikaji secara teknis
dan ilmiah benar-benar bangunan yang kuat dan tahan gempa.

“Kami diajak melihat salah satu Desa tertua di Sichuan, itu desa terpencil dengan penduduk hanya 89 KK. Tapi aksesnya langsung jalan tol. Ada jalur evakuasi yang dibuat dengan terowongan sepanjang lebih
dari 5 Km. Jadi di sana pemerintah sudah benar-benanr menyiapkan mitigasi, tidak ada lagi di Sichuan yang hanya satu jalur, selalu ada jalur alternatif dan jalur evakuasi, sehingga kalau ada bencana terjadi proses evakuasi bisa lebih maksimal,” kata Baiq Muliana.

Yang lebih visioner, Universitas Sichuan juga langsung membuka prodi Manajemen Kebencanaan, pasca gempa bumi 2008 silam. Prodi ini dibiayai komunitas olahraga berkuda di China, yang mendanai pembangunan kampus, penyediaan laboratorium dan kelengkapan prodi lainnya.

Universitas Sichuan juga membentuk kelompok mahasiswa yang bertugas melakukan workshop dan edukasi mitigasi bencana secara reguler hingga ke masyarakat pedesaan.

“Di sana juga ada SOP yang dibuat untuk penanganan bencana, jadi misalnya evakuasi berapa lama, tanggap darurat berapa lama, hingga masa pemulihan sampai benar-benar utuh. Dan SOP ini benar-benar dijalankan, pejabat di sana memberi contoh, dan di Sichuan ini kita
bisa belajar bahwa Mitigasi di sana sudah benar-benar dilaksanakan secara nyata, bukan sekadar wacana,” kata Baiq Muliana.

Baiq Muliana mengatakan, dua pelajaran berarti dari Sichuan yang bisa dipetik juga untuk penanganan pasca bencana di NTB ini, adalah kuatnya rasa empati dan kebersamaan masyarakat China, dan juga mental pejabat, para pemangku kepentingan yang benar-benar bekerja tulus dan penuh
tanggungjawab. ***