Siapa Penerima Manfaat Industri 4.0 Indonesia?
Febrian Humaidi Sukmana
(Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi 45 Mataram)
Ada keinginan yang besar dari pemerintah Indonesia melalui kementerian perindustrian untuk dapat mengadopsi megatrend global yaitu revolusi industry 4.0. Bahkan lebih jauh kementerian perindustrian telah merancang sebuah roadmap (Making Indonesia 4.0) dengan harapan dapat mengimplementasikan dan mengintegrasikan strategi yang disusun untuk menjawab tantangan era industri 4.0.
Klaim Indonesia sebagai salah satu Negara dengan pertumbuhan ekonomi yang sehat, sekaligus menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia digunakan sebagai “jargon” untuk mempromosikan penerapan revolusi industri 4.0 di Indonesia. Selain itu masih banyak “keunggulan” lainnya yang digunakan sebagai dalih untuk mendorong implementasi revolusi industri 4.0 di Indonesia, salah satunya yaitu beberapa tahun ke depan (2025-2035) Indonesia akan menikmati periode bonus demografi, di mana jumlah penduduk dengan usia produktif berada pada jumlah yang sangat besar dibanding total populasi penduduk Indonesia.
Secara teoritis, periode “keemasan” bonus demografi diyakini oleh banyak pihak akan menjadi pendorong bagi kemajuan dan pembangunan suatu negara.
Namun selain menjadi kekuatan dan peluang, nampaknya “bonus” tersebut berpontensi menjadi masalah dan ancaman jika tidak dikelola dengan baik dan bijak. Mengapa demikian? Revolusi industri 4.0 yang secara masif dikampanyekan oleh pemerintah melalui kementerian perindustrian, mau tidak mau harus mengedepankan konektivitas antara teknologi, manusia dan data (inilah esensi dari revolusi industri 4.0, atau biasa juga dikenal dengan istilah cyber physical systems.
Bisa dibayangkan jika revolusi industri ke-3 saja (berkembang awal 1970-an) telah menggunakan teknologi informasi untuk automatisasi produksi, maka revolusi industri 4.0 pastinya akan memberikan porsi yang lebih besar kepada artificial intelligence (kecerdasan buatan yang diintegrasikan pada suatu sistem/komputer/mesin) untuk dapat melakukan pekerjaan sebagaimana yang rutin dilakukan manusia.
Ada temuan yang menarik dari artikel yang tulis pada tahun 2017 oleh Linda Bonekamp dan Matthias Sure di Journal of Business and Media Psychology dengan judul “Consequences of Industry 4.0 on Human Labour and Work Organisation”. Mereka berkesimpulan bahwa industry 4.0 akan mengarah pada penurunan substansial dalam keterampilan rendah terstandarisasi dan peningkatan kegiatan keterampilan tinggi, mencakup perencanaan, kontrol, dan tugas-tugas yang terkait dengan teknologi informasi. Mereka juga memproyeksikan semakin pentingnya pembelajaran, pelatihan, dan pendidikan berkelanjutan agar tenaga kerja dapat beradaptasi dengan persyaratan kualifikasi masa depan yang berasal dari teknologi industry 4.0.
Pertanyaan selanjutnya adalah “sejauhmana kesiapan tenaga kerja Indonesia dengan persyaratan kualifikasi masa depan yang menggunakan standar teknologi industri 4.0?” Kekhawatiran yang muncul dari kemampuan suatu sistem (kecerdasan buatan) yang “sangat mungkin” menggantikan peran manusia dalam melakukan suatu pekerjaan akan menyebabkan lapangan pekerjaan (terutama sektor industri) menjadi berkurang, terutama sekali bagi tenaga kerja yang digolongkan sebagai berketerampilan rendah. Jika dikaitkan dengan bonus demografi, tentu fenomena ini akan berpotensi menimbulkan masalah. Di saat jumlah populasi usia produktif tinggi namun tidak didukung oleh kemampuan dan keterampilan yang memadai tentunya ini tidak akan menjadi peluang bahkan sebaliknya justru akan menjadi kelemahan bahkan ancaman.
Di sisi lain, pengusaha (pelaku industri) harus menjalankan bisnisnya secara efisien dan berkelanjutan. Jika ada sebuah sistem yang dapat dijalankan secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan dari bisnis yang dijalankan tersebut, maka hal itu merupakan prioritas utama yang diambil pelaku bisnis dalam melaksanakan aktivitas produksinya. Tentunya dengan penggunaan perangkat teknologi canggih saat ini, pelaku bisnis dapat mengefisienkan beban biaya tenaga kerja mereka untuk dialokasikan menjadi skema padat modal (penggunaan teknologi mutakhir). Dengan kata lain, konsekuensi yang harus diambil oleh pelaku bisnis adalah pemutusan hubungan kerja, terutama untuk pekerja dengan kualifikasi keterampilan rendah. Jika hal tersebut terjadi akan sangat mungkin memicu konflik sosial dan ekonomi.
Peran pemerintah untuk mengantisipasi dan mengatasi “potensi masalah” yang mungkin terjadi dimasa mendatang harus sudah dilakukan sejak dini. Implikasi teknologi industri 4.0 tidak hanya dapat dilihat dari sudut pandang mikro tetapi juga dari sudut pandang ekonomi makro yang menangani konsekuensi dari perspektif yang lebih luas terutama dengan mengacu pada implikasi untuk kesejahteraan sosial dan keadilan ekonomi.
Sebagai penutup, Jerman sebagai Negara pionir dari konsep revolusi industri 4.0, cenderung berhati-hati dalam rentang waktu yang diperlukan bagi industri Jerman untuk sepenuhnya memanfaatkan teknologi Industri 4.0, karena mereka menyadari semua konsekuensinya terhadap tenaga kerja manusia dan organisasi kerja yang telah ada. Namun sikap industri Jerman tersebut kontras jika dibandingkan dengan industri-industri di Amerika dan Eropa yang kental dengan pemikiran kapitalisme.
Tinggalkan Balasan