KoranNTB.com – Gempa bumi bermagnitudo 4,1 mengguncang 106 kilometer barat daya Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

Gempa tersebut terjadi pukul 21.16 Wita, Jumat, 21 Juni 2019. Hasil analisa BMKG menunjukkan bahwa episenter terletak pada koordinat 9,58 LS dan 115,79 BT, atau tepatnya berlokasi di laut pada jarak 106 km barat daya Lombok Barat-NTB, pada kedalaman 47 km.

Dengan memperhatikan lokasi episenter dan kedalaman hiposenter, gempa bumi yang terjadi merupakan jenis gempa bumi dangkal akibat aktivitas subduksi lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia.

Zona subduksi di selatan Pulau Lombok memang menjadi sesuatu yang menakutkan, karena memiliki sejarah kegempaan yang merusak. Pada  19 Agustus 1977 terjadi gempa Sumba yang berakibat pada tsunami di Lunyuk Sumbawa, Kuta dan Awang di Lombok. Gempa tersebut bermagnitudo 7,0.

Wilayah tersebut sering disebut dengan megathrust Sumba, yang memiliki kekuatan maksimal 8,7 magnitudo.

Zona ini juga sering disebut Sesar Selatan, yang membentang mulai dari barat Sumatera, Maluku, Lombok dan terus ke timur. Ini berpotensi tsunami ketika terjadi gempa di laut dengan kedalaman dangkal.

Kepala Bidang Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, Daryono mengatakan, gempa-gempa kecil pada zona subduksi tersebut justru bagus. Karena mengeluarkan energi dengan intensitas kecil. Justru yang harus dikhawatirkan jika tidak terjadi gempa sama sekali di zona tersebut, karena bisa menimbulkan energi yang besar ketika terlepas.

“Ya itu bagus, kalau tidak ada gempa malah bahaya. Akumulasi jadinya. Kalau gempa (kecil) kan lepas energinya,” ujarnya.

Saatnya Mitigasi Bencana

Daryono mengajak masyarakat untuk memulai belajar tentang mitigasi bencana. Karena sudah menjadi konsekuensi Indonesia yang terletak di cincin api Pasifik, sehingga potensi gempa selalu ada.

Mitigasi bencana dapat dimulai dari membangun rumah tahan gempa atau RTG. Tidak perlu membangun RTG dengan biaya mahal, namun RTG juga dapat dibangun dari kayu dan memiliki kontruksi yang tahan gempa. Rumah kayu tersebut bisa dimodifikasi menjadi nyaman dan indah, yang terpenting tetap tahan pada gempa.

“Gempa itu tidak membunuh dan melukai. Kalau pada bangun rumah tahan gempa, gempa kapan saja akan baik-baik saja, seperti main ayunan karena rumahnya kuat tak membunuh dan tidak melukai,” tuturnya.

Dia mencontohkan, kejadian gempa 2006 di Yogyakarta dan Provinsi Suruga di Jepang. Gempa kekuatan sama bermagnitudo 6,4. Tingkat kepadatan penduduk juga sama. Namun saat terjadi gempa, korban jiwa di Jogja 5.800 orang, sementara di Suruga hanya satu orang.

“Ini bukti bahwa mereka yang serius mengupayakan bangunan tahan gempa akan dapat mengurangi korban sangat signifikan,” jelasnya.

Dia menjelaskan, gempa menjadi human interest atau ketertarikan ketika ada rumah rusak dan korban berjatuhan. Ketika Indonesia telah mampu mitigasi bencana maka tidak ada korban jiwa, dan gempa tidak lagi menarik perhatian. (red)