Oleh: Santi Afriana

Program Studi Sosiologi Universitas Mataram

KORANNTB.com – Masyarakat lebih memberikan stigma negatif kepada janda daripada duda. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap status janda tersebut adalah: faktor budaya patriarki yang masih melekat dalam kehidupan masyarakat setempat, faktor tingkat pendidikan atau pengetahuan masyarakat akan mempengaruhi pola pikir masyarakat yang akan menghasilkan persepsi kaitannya dengan status janda, faktor usia masyarakat mempengaruhi persepsi yang muncul. Semakin tua usia seseorang, akan cenderung lebih bijaksana, faktor jenis kelamin masyarakat yang memberikan persepsi terhadap status janda dapat mempegaruhi persepsi mereka, faktor kondisi lingkungan masyarakat, faktor kondisi emosional, kedekatan, dan pengalaman bersama masyarakat yang mempersepsi dengan janda.

Kaum janda seringkali ditempatkan sebagai wanita pada posisi yang rendah, lemah, penggoda lelaki orang, tidak berdaya dan membutuhkan belas kasih sehingga dalam kondisi sosial budaya seringkali terdapat ketidakadilan. Semakin maju zaman dan pendidikan tidak membuat stigma status janda membaik. Lihat saja beberapa lagu, film dan beberapa oknum yang menjelekkan atau merendahkan status janda itu sendiri. Saat seorang wanita berstatus janda, maka selentingan negatif mulai bertebaran. Berbeda dengan pria yang terlihat tetap terhormat dengan status sebagai duda.

Di budaya kita sendiri, seorang janda akan menjadi pergunjingan luar biasa. Apalagi di daerah pedesaan, di mana kata janda masih awam sekali di telinga mereka. Status janda dalam masyarakat rentan dari segala permasalahan dan pandangan masayarakatpun kadang agak berlebihan. Semua gerak gerik seorang janda terkesan menjadi pantauan masyarakat sekitar. Masyarakat menilai penampilan janda dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sungguh berat tanggung jawab yang harus dipikul seorang janda, mereka harus menjaga agar jangan sampai sesuatu yang dilakukannya menjadi gunjingan warga sekampung yang bisa menjadi pula gunjingan se-kecamatan.

Janda merupakan perempuan yang tidak memiliki pasangan dan status kesendirian karena berpisah dengan suami baik berpisah karena dicerai maupun karena ditinggal mati. Data yang saya dapatkan dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) NTB tahun 2016 menunjukkan, dari 1.430.359 kepala keluarga (KK) di NTB, 21,60 persen atau sebanyak 308.957 berstatus sebagai janda dan duda, dengan rincian, Kabupaten Lombok Timur 24,8 persen, Lombok Tengah 23,9 persen, Lombok Barat 22,0 persen, Lombok Utara 20,8 persen, Kota Mataram 20,4 persen, Bima 18,0 persen, Dompu 16,8 persen, Sumbawa Barat dan Sumbawa sebanyak 14,1 persen.  Menjadi seorang janda lebih berat dibanding duda, karena yang sering dikesampingkan masyarakat, seorang janda justru sering menanggung beban lebih berat dibanding duda.

Di satu sisi dia berperan sebagai ibu dari anak–anak yang (seringkali) ditelantarkan oleh ayahnya, di sisi lain dia harus berperan sebagai kepala keluarga untuk memberi nafkah pada anak-anaknya. Tentu saja berat menjadi seorang janda, dia harus tetap menjaga harkat dan martabat dirinya di tengah–tengah stigma negatif masyarakat dan harus mampu bertahan demi diri sendiri dan anak-anak. Menjadi janda sesungguhnya adalah hal yang serba salah di mata masyarakat. Hal lain yang sering ditakutkan wanita dengan status janda adalah banyak pria mencoba mengelabui janda agar jatuh dalam pelukannya, sebab janda sering dianggap wanita lemah dan haus akan kasih sayang. Berat menyembuhkan luka yang mereka rasakan, berdiri sendiri menyandang tugas ganda, menjadi kuat untuk anak-anaknya, menghilangkan rasa trauma yang ia rasakan dan anaknya (jika terjadi KDRT dalam keluarganya).

Sebagian kaum laki-laki menganggap janda adalah wanita yang lapar dan haus akan buaian, sehingga tidak jarang ada kaum laki-laki yang terang-terangan mengajak keluar dan kencan tengah malam. Karena janda adalah ‘barang bekas’ yang tidak layak dibeli lagi.  Keadaan ini pula yang membuat para perempuan memilih tersiksa bertahan menjadi istri dalam suatu perkawinan yang seperti neraka, dari pada bercerai dan mendapatkan julukan janda. Perempuan sering menjadi pihak yang dirugikan, di mata laki-laki janda itu barang bekas, tidak ada yang mau menikahi janda. Janda tidak layak dinikahi karena dianggap tidak sederajat. Perempuan bercerai dianggap tidak becus, dan dianggap gagal sebagai seorang istri. Kalau laki-laki lajang ingin menikahi janda, sudah pasti akan ada kontroversi di dalam keluarga mereka, belum lagi masyarakat mencibir yang menganggap si janda-lah yang menggoda. Beda dengan laki-laki yang berstatus duda, masyarakat lebih mengasihi mereka. Dianggap korban karena telah dikhianati dan ditelantarkan istri. Jika janda yang membawa anak, statusnya akan lebih memalukan lagi, sebaliknya kalau duda yang membawa anak malah dipuji-puji. Dianggap sebagai laki-laki bertanggungjawab, yang memikul nasib anaknya. Pria lajang menikahi janda dianggap sebagi aib, tapi duda dengan mudah dapat menikahi perempuan lajang manapun.

Masyarakat memang sangat pintar menghakimi tanpa berusaha mencari tahu kenapa dia bisa menjadi janda. Apalagi jika status janda dikaitkan dengan pekerjaan yang nista. Padahal, banyak wanita wanita bersuami yang jauh lebih ‘murahan’ dari janda, selingkuh dengan pria kaya demi harta, ataupun membeli kenikmatan dari pria pria muda.

Para janda dalam sejarah Islam justru adalah wanita-wanita terhormat dan menjadi teladan dengan kemandiriannya. Jangan samaratakan, karena tidak semua janda menggoda suami orang lain. Malah banyak dari mereka yang begitu luar biasa, berjuang demi merawat anak-anaknya dan menjaga kehormatannya dengan baik.

Beberapa solusi dari penulis untuk para janda menghadapi stigma negatif dari orang-orang yang selama ini ditimpakan kepadanya, di antaranya adalah:

1.Bergabunglah dengan sesama janda atau jadilah anggota dalam komunitas yang memiliki program bermanfaat khususnya dalam bidang pengembangan diri dalam diskusi-diskusi untuk saling memotivasi. Tujuan utamanya adalah menghadirkan rasa percaya diri sekaligus pemahaman bahwa bukan Anda sendiri yang mengalami perlakuan negatif ini.

2.Memotivasi diri, dengan cara bergaul dan berdiskusi dengan orang-orang yang tepat, menghadirkan aura positif dalam diri sendiri adalah obat yang manjur untuk mengikis dampak negatif yang timbul dari setiap tindakan bully atau persekusi yang diterima oleh seorang janda dalam kehidupan.

Jangan semena-mena men-judge apalagi sampai menghina dan remehkan janda. Single parent yang berjuang mencari nafkah sendiri itu tidak mudah. Menjaga dan merawat anak-anak sekaligus menjadi sosok ayah bagi mereka, jangan dipikir itu mudah. Saya berharap stigma negatif masyarakat tentang janda dapat dihapuskan, perlunya kesadaran dari masyarakat bahwa tidak ada seorang janda yang ingin untuk berlama-lama menyandang status janda, dan manusiawi sekali jika janda menginginkan dia diayomi, dilindungi dan disayang layaknya wanita pada umumnya, sehingga dengan begitu diskriminasi terhadap janda tidak lagi terjadi.

Baca opini lainnya:
Sengkarut Pembangunan Dam Mujur