Muhammad Awaludin, M.H
Dosen Astronomi Islam (Ilmu Falak)
UIN Mataram

KORANNTB.com -Setiap daerah memiliki adat istiadat dan tradisi yang berbeda, bahkan sulit menemukan sebuah kelompok masyarakat hadir dan eksis hingga saat ini tanpa memiliki adat istiadat dan tradisinya sendiri. Sebab adat istiadat dan tradisi merupakan identitas moral dan sosial sehingga mereka mudah mengenali mana kelompoknya dan mana yang bukan kelompoknya.

Dalam keberagaman masyarakat yang ada di Pulau Lombok masing-masing mempunyai adat dan tata krama yang berbeda dalam lingkup masyarakatnya. Perbedaan tersebut merupakan hal yang lumrah kita jumpai dalam kehidupan sosial. Namun ada satu tradisi yang melekat dan menyatukan masyarakat lombok yaitu tradisi Bau Nyale.

Tradisi Bau Nyale ini rutin diagendakan oleh masyarakat Sasak karena merupakan suatu warisan kebudayaan yang bernilai multikultural dan terus menerus diperingati oleh masyarakat sasak setiap tahunnya. Tradisi ini merupakan tradisi penghormatan atau memperingati pengorbanan seorang putri yang melagenda bernama Putri Madalika. Putri yang memilih untuk meredam ego kepentingan pribadinya demi kepentingan yang lebih besar yaitu kepentingan rakyatnya.

Tradisi Bau Nyale ini biasanya diadakan setelah lima hari dari bulan purnama, tepatnya tangal 20 bulan ke-10 penanggalan Sasak. Hal ini sesuai dengan “janji” Putri Mandalika yang akan selalu kembali kepada rakyatnya (masyarakat lombok) pada tanggal 20 bulan 10 penanggalan Sasak.

Kini event tradisi Bau Nyale telah menadi event yang komersil bahkan telah menjadi salah satu agenda tahunan Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang artinya event ini akan menjadi salah satu event besar di tanah Lombok.

Keunikan tradisi Bau Nyale berupa aksi masyarakat yang beramai-ramai turun ke tepi pantai untuk menangkap cacing “Nyale” ini menjadi fokus dalam event Bau Nyale ini, sehingga esensi yang lebih sakral dan filosofis untuk “Menjemput Janji Putri Mandalika” mulai tergeser. Sehingga fokus dari masyarakat lokal, turis domestik, turis mancanegara ataupun para undangan yang hadir adalah sekedar untuk menangkap cacing “Nyale” sahaja bukan lagi mengenang atau menjemput “janji” sang Putri.

Keadaan semacam ini tidak sepenuhnya bisa disalahkan, namun juga akan menjadi bumerang tersendiri bagi para pemangku adat. Hal ini akan berimbas pada upaya penentuan tanggal Bau Nyale yang dilakukan dalam rapat Sangkep Bau Nyale oleh para pemangku adat kita. Para pemangku adat seolah dipaksa oleh masyarakat untuk dapat menetapkan jatuhnya hari Bau Nyale dengan sangat tepat, artinya hari yang ditetapkan harus sesuai dengan kemunculan cacing Nyale. Akibatnya jika rapat sudah dilakukan dan tanggal sudah ditetapkan namun cacing Nyale tidak muncul sesuai harapan, maka yang akan disalahkan adalah para pemangku adat. Hal ini terjadi, karena ada miss penfasiran antara masyarakat umum dengan para pemangku adat dalam memahami tradisi Bau Nyale tersebut.

Kerancuan dalam memahami tradisi Bau Nyale ini dapat diselesaikan yaitu dengan sama-sama memaknai tradisi Bau Nyale sebagai tradisi menjemput janji sang Putri Mandalika, selain itu juga sebagai upaya pelestarian kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Lombok. Sehingga, kehadiran Nyale saat pelaksaan tradisi Bau Nyale tersebut cukup dianggap sebagai bonus atau hadiah bagi masyarakat Lombok yang tetap setia menjaga marwah janji dan kecintaan pada sang Putri Mandalika sekaligus sebagau upaya menjaga kelestarian kebudayaannya. Sehingga, Bau Nyale tidak sekedar hanya menjadi event pariwisata tahunan lalu kemudian kita berbondong-bondong datang untuk sekedar mengambil Nyale, tapi lebih kepada filosofi tradisinya yaitu menjemput janji Putri Mandalika di setiap tahunnya yaitu  tanggal 20 bulan 10 penanggalan Sasak.