Mengguritanya Fintech Pinjaman Online di Era Digital
Muhammad Muhajir Aminy, S.E.I, M.E
Dosen Perbankan Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram
KORANNTB.com – Financial technology (fintech) pada dasarnya merupakan inovasi gabungan antara teknologi dan jasa keuangan yang dikembangkan untuk menumbuhsuburkan jumlah transaksi keuangan yang dapat membantu pertumbuhan perekonomian, serta meng-inklusi jasa keuangan di tengah masyarakat.
Eksistensi fintech diharapkan dapat memberikan akses yang lebih terbuka kepada masyarakat. Fintech merupakan kombinasi teknologi dan jasa keuangan yang luas. Namun, pada prakteknya di lapangan kata ‘fintech’ saat ini hanya diasosiasikan dengan pinjaman online.
Pinjaman online menjadi fenomena terbaru di dunia keuangan digital seperti sekarang ini. Hal ini tidak jauh berbeda dengan cryptocurrency bitcoin sebagai instrumen investasi dengan tingkat return yang tinggi dan mulai booming beberapa tahun terakhir. Bedanya, skala pinjaman online ini masih pada tingkat nasional, sementara investasi cryptocurrency sudah mendunia di berbagai negara.
Fintech pinjaman online saat ini telah menjamur di Indonesia. Aplikasinya sudah tersebar baik di PlayStore milik Android maupun AppStore milik iOS, sehingga memudahkan para calon kreditur atau peminjam untuk melakukan pinjaman online tanpa agunan/ Kredit Tanpa Agunan (KTA).
Secara umum aplikasi yang sudah tersebar di PlayStore maupun AppStore tersebut sudah legal alias mengantongi izin operasional dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun tidak menutup kemungkinan ada juga aplikasi yang memang sudah tersedia di marketplace aplikasi handphone tersebut tidak memiliki izin dari OJK, bahkan telah di-blacklist sebagai aplikasi perusahaan yang banyak dilaporkan oleh para nasabahnya karena cara penagihannya yang kurang etis dan cenderung mengganggu urusan pribadi mereka. Selain melalui aplikasi handphone, perusahaan pinjaman online yang menawarkan jasa kredit via SMS juga dapat terindikasi sebagai perusahaan pinjaman online yang ilegal.
Sudah banyak kasus yang berkaitan dengan perusahaan pinjaman online ini. Salah satunya adalah yang terjadi di Solo, di mana ada seorang wanita yang melakukan pinjaman online tanpa agunan. Hanya karena terlambat membayar, debt collector (DC) dari perusahaan pemberi pinjaman online tersebut melakukan fitnah kepada dirinya dengan cara memasang iklan bergambar si wanita bertuliskan ‘siap digilir’ untuk melunasi hutang. Ini hanya satu kasus yang akhir-akhir ini terekspos di masyarakat. Masih banyak lagi selain kasus tersebut yang tidak terlihat dan menjadi sorotan media.
Hal seperti ini sudah seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga pengawas yang memberikan izin adanya perusahaan-perusahaan pemberi pinjaman online tersebut. OJK harus melakukan pengawasan yang lebih ketat di lapangan bagaimana cara penagihan para DC kepada para kreditur, bukan sekedar membaca lembaran-lembaran peraturan yang tertuang di kertas-kertas milik perusahaan. Karena faktanya banyak masyarakat yang merasa dirugikan secara personal dengan cara penagihan DC tersebut. Ancaman bahkan menyebarkan data kepada seluruh kontak yang ada di handphone kreditur dirasa tidak etis oleh sebagian besar masyarakat.
Berdasarkan laporan OJK pada bulan Juni 2019, tercatat sebanyak 113 perusahaan pinjaman online yang mengantongi izin dan legal di Indonesia dengan akumulasi jumlah pinjaman dari seluruh perusahaan tersebut mencapai 44,806 triliun rupiah, meningkat sebesar 97,68% sejak awal Januari 2019. Artinya dalam kurun waktu setengah tahun saja jumlah pinjaman sudah mencapai dua kali lipat. Ini membuktikan bahwa perusahaan pinjaman online ini sangat diminati oleh masyarakat Indonesia. Ini belum ditambah dengan jumlah pinjaman online yang dilakukan secara illegal oleh perusahaan-perusahaan yang tidak tercatat di OJK dan telah dicabut izinnya oleh lembaga pengawas tersebut.
Oleh karena itu perlu dilakukan pengawasan yang lebih baik dan melakukan peninjauan kembali OJK berkaitan dengan aturan dan kebijakan yang diberlakukan para masing-masing perusahaan tersebut. Termasuk di dalamnya berkaitan dengan tingkat bunga yang dirasa cukup tinggi dan cara DC dalam melakukan penagihan kepada nasabah peminjam.