Penulis: Satria Madisa

Dua gadis diduga menampilkan tarian tanpa busana di sebuah tempat di Lombok NTB. Tarian tanpa mengenakan sehelai kain itu dilakukan untuk melayani tamu yang mengunjungi Metzo Executive Karaoke Lombok, di Desa Batu Layar, Kabupaten Lombok Barat.

Rumornya dua gadis itu sebut saja Bunga dan Mawar mementaskan tarian itu atas inisiatif sendiri untuk mendapatkan upah tertentu. Tarifnya jutaan saja. Lebih mahal VA yang 80 juta sekali ‘kencan’ beberapa waktu lalu. Tarian ‘tanpa busana’ itu juga diklaim tidak difasilitasi atau jadi ‘menu wajib’ penggunjung yang disediakan pihak Metzo Executive.

Lalu beberapa waktu lalu Bunga dan Mawar ditetapkan sebagai tersangka. Berdasarkan laporan masyarakat, dengan sangkaan tindak pidana pornografi. Sementara yang dianggap fasilitator hanya diamankan. Sebut saja dia Garong.

Membaca berita tarian tanpa busana dan narasi para pihaknya menyikapinya membuat saya terpesona. Walau menjadi takdir sosial menyulut pro dan kontra. Saya tidak masuk dalam justifikasi pro dan kontranya dengan semua alasannya. Saya tertantang untuk menelaah secara kritis, peristiwa itu dalam perspektif ‘gambar besar’ dan klaim ‘pemberi isi’ dari gambar besar tersebut. Acapkali disebut bahwa pancasila sebagai dasar negara, filsafat hidup BANGSA dan idiologi negara.Maknanya dalam artian sederhana, sumber hukum, petunjuk hidup, kesatuan cita-cita dan mahzab membangun peradaban pembangunan.

***
Saya pernah nonton film hollywood (lupa judulnya) yang dalam satu adegan menampilkan seluruh tubuh perempuan sebagai hidangan melayani para pengunjung, disebuah bar. Menari-nari melilit tiang, sesekali menggoda hadirin. Para pengunjungnya dari aneka ragam. Mulai kelas proletar hingga kelas borjuis. Seluruh tubuh itu dihidangkan tanpa busana. Para gadis itu menikmati pekerjaannya. Para pengunjung terpesona dengan hidangan yang tersedia. Mata melotot tajam (termasuk saya), ketertawaan sinis, hingga kesenangan terpancar di wajah. Setelah selesai, manajemen bar memeluk-meluk gadis-gadis itu, lalu memberikan uang.

Saya tidak tahu, apakah tarian tanpa busana seperti film yang pernah saya tonton, atau lebih lembut lagi darinya, para pengunjung yang tahu itu. Menurut anda, seperti apa tarian tanpa busana, di Metzo Executif dan Karaoke Lombok?

Di Eropa kebebasan ada dalam pengertian sebebas-bebasnya. Bebas telanjang di tengah keramaian, bebas ngeseks di kerumunan massa, hingga aktivitas sexualitas diproduksi secara massal dan masif untuk kepentingan bisnis. Bisa juga kita temukan di Indonesia, tentu saja di daerah-daerah pariwisata yang manusianya beraktivitas ‘tanpa busana’ di tengah keramaian. Untuk produksi aktivitas sexualitas, demi kepentingan bisnis, sejauh ini belum ada di Indonesia.

Anomali ‘Kebebasan’ Ala Pancasila di Kebijakan Negara

Matakuliah pancasila dan kebudayaan hanya sampai dalam diksi teoritis saja, begitu juga slogan dan kampanye petinggi negara. Hanya karena berbeda penafsiran dan pilihan politik, pancasila didalilkan untuk memberangus perbedaan. “Bahwa kebebasan ‘ala eropa’ berbeda dengan kebebasan ‘ala Indonesia.’ Filsafat Eropa (liberalisme) dan filsafat Indonesia (pancasilaisme) sama-sama menghormati kebebasan dalam pemaknaan yang dikembalikan pada budaya dan kebudayaannya.” Itu warna kalimat yang selalu kudengar. Juga didengarkan untuk para pendegar ceramah-ceramah orang pintar. Mulai petinggi negara, tentu saja.

Faktanya, tidak ada perbedaan tajam hingga relatif sama kebebasan ala negeri Eropa dan Indonesia dalam pelaksanaanya. Pancasila tidak menyediakan konseptualisasi ‘
kebebasan dan pengaturan lebih lanjut dalam spirit dan paradigma pembangunan bangsa. Inilah kerancuan yang disadari para pihak, namun tak berdaya mengubah keadaan. Karena kedigdayaan cengkraman kapitalis yang juga mendompleng budayanya (perang budaya)  sedang di sisi lain, bangsa ini masih sangat lemah, bahkan untuk merumuskan dan mempertahankan bangsa dan seluruh yang ada di dalamnya. Benar ada kemerdekaan di atas kertas. Tapi tidak benar bangsa ini berdikari karena inviltrasi modal dan ketidakmampuan mengelola bumi yang kaya, tanpa mengamputasi seluruh atau sebagian yang terkandung didalamnya.

Mari mulai dengan mengungkit kembali gambar besar dibalik tarian tanpa busana, di daerah pariwisata (Lobar) di Negeri 1000 Masjid (Lombok) di hamparan ‘Bumi Pancasila’. Klaim tarian tanpa busana merusak moral publik, menciderai pariwisata halal, tidak sesuai kearifan lokal, bertentangan dengan nilai agama, merusak generasi bila dibongkar terusan akan berlabuh pada pancasila.

Bahwa berdasarkan peristiwa itu bertentangan dan merongrong filsafat dan idiologi negara. Bisa jadi presiden Jokowi memimpin diskursus kebangsaan dalam kampanye ‘tarian telanjang’ anti pancasila. Pikiran paling awam sekalipun, sepakat ‘berdagang tubuh’ menabrak pancasila dan mempermalukan pancasila. Mari baca baik-baik nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila. Artinya itu sikap tidak pancasilais bahkan anti pancasila. “Sikap itu ‘liberal’ yang dimusuhi pancasila.” Mari kita gebuk. Imajinasi saya, mengembara, lalu berharap pada Presiden kita mengucapkannya. Seperti mengamuk, ingin menghajar ormas anti pancasila dan yang menghalangi investasi.

Klaimnya benar, tarian telanjang merusak moral publik. Puncaknya terlepas bagaimana budaya dan kebudayaan dan kearifan lokal di NTB ‘Tarian Tanpa Busana’ bila benar pancasila sumber legitimasi moral, dasar negara, falsafah bangsa dan idiologi negara. Bertentangan. Baiknya kita gali antropologi manusia di NTB, menurut saya umumnya, tidak ada yang melegitimasi budaya dan kebudayaan berdagang tubuh dengan menari telanjang. Apalagi yang lebih tinggi dari itu.

Saya ingin mengatakan begini: Mencuri di Fakultas Hukum dan Mencuri di Sengiggi sama asasnya. Dilarang. Itu kata KUHP. Bila terbukti diancam pidana. Kata KUHP juga. Atau begini, meminum minuman keras di sebuah masjid dengan meminum minuman keras di sebuah bar sama juga asasnya. Sama juga penindakannya. Atau menari tanpa busana di kantor gubernur dan menari tanpa busana di Metzo Executif sama juga asasnya. Sama juga penindaknya. Sama juga klaimnya. Tidak pancasilais dan menabrak hukum.

Namun dalam perkara yang sama bisa berbeda penanganannya. Tergantung hal-hal tertentu. Bisa jadi karena alasan pariwisata jadi wajar saja, bisa jadi juga alasan karena investasi dengan semua pajak dan dampak terhadap APBN, APBD (provinsi, kab/kota). Lalu menari telanjang di daerah pariwisata  sah-sah saja, sedang menari telanjang di lingkungan masyarakat dihakimi massa.

Meminum-minuman keras di daerah pariwisata (investasi) tidak ditangkap aparat, sedang di Fakultas Hukum, pasti dikrangkeng. Ini yang terjadi. Semua karena alasan perijinan (legalitas), pajak untuk negara (APBN/APBD) dan aliran dana buah investasi yang mengalir ke para pihak. Hingga demi semuanya itu, kita gadaikan moral, sampai menggadaikan pancasila.

Sekarang, peradaban bangsa diukur menggunakan teori dan indikator-indikator liberalisme yang kapitalistik. Bahwa negara maju bukan indikatornya moral, nilai, keadaban yang tergambar jelas di Pancasila. Negara maju iyalah yang gedungnya menjulang langit, jalan raya yang molek bin mulus, dan sejenisnya.

Inilah wajah lain dari kesaktian pancasila. Bahkan untuk filsafat dan indikator pembangunan mencaplok falsafah dan idiologi lain. Hingga wajah pembangunan kita ‘tanpa busana.’ Namun lagi-lagi sah atas nama pembangunan. Siapa yang tahu, di kemegahan rumah ibadah, sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, jalan raya, hingga gaji kepala dusun, juga disubsidi keringat para pelacur ditempat-tempat legal, dan bisnis-bisnis yang tidak sesuai pancasila, hingga outuput dari Bunga dan Mawar yang ‘menari tanpa busana.

Memuliakan Pancasila

Bunga dan Mawar hanyalah percikan api kecil dari bara api nasional yang ditutupi kemegahan batu-batu dan penampilan para petinggi negeri. Setiap kota besar pasti punya ikonnya sendiri. Mulai tempat legal minuman keras, tarian tanpa busana, seks legal dan bisnis-bisnis yang sejatinya tidak pancasilais. Sebagai contoh bengkaknya negara menggarap tema-tema kebudayaan dan peradaban pancasilais iyalah dengan melegalisasi sex bebas dengan memberikan perijijan retail modern menjual alat pengaman tanpa ada standarisasi dan kriteria dan pengeculian, yang berdampak terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) hingga Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

Refleksi membengkaknya paradigma pembangunan, tidak akan jadi kampanye nasional pancasila. Tidak juga jadi pembicaraan kepala negara di Bumi Indonesia dan forum-forum Internasional. Seperti diksi ‘Aku Pancasila’ sedang pihak lainya ‘Tidak Pancasilais, dan Anti Pancasila. Apalagi diskursus Badan Pembina Idiologi Pancasila (BPIP).

Sebagai anak bangsa, saya sangat prihatin terhadap cara Indonesia sebagai sebuah negara dan bangsa yang lemah, minim, serta absurd mengakomodasi kepentingan kebudayaan dan peradaban dalam memaknai pancasila. Pancasila tak lebih slogan dan kampanye politis untuk legalitas kekuasaan tok. Keberadaanya indah di atas kertas. Buruk pada diskursus dan penerapannya.

Kini pancasila kehilangan orisanilitas dan wibawa. Justru malah menjadi kubangan ketimpangan, keadaanya ‘tanpa’ kehadirannya diruang-ruang kebangsaan dan kenegaraan. Roh pancasila buram. Bahkan tidak ada, meminjam pendapat Sujiwo Tejo. Era inilah bangsa ini krisis filsafat hidup. Terombang ambing dan kepanikan dan keserakahan oligarki dan kepongahan feodal.

Bangsa ini mengalami kekacauan prinsipil, yang menunjang kekacauan sampai hal yang paling teknis. Hingga kita ‘melipstik’ pancasila seindah selera, dan legitimasi kepanikan negara terhadap kritisme warga negara. Pancasila harga mati tak berhenti kita kampanyekan, begitu juga aku pancasila, dan kampanye peyoratif pada warga negara yang berbeda pendapat dengan pemerintah. Saya berpendapat rezim ini, menggunakan pancasila dalam metode indoktrinasi seperti yang dipraktikan rezim orde lama dan orde baru.

Metode indoktrinasi tradisi/model Althusseian penggerakan masif aparatur pemerintahan dalam penanaman idiologi sekaligus pengendalian politik melalui lembaga kebudayaan: sekolah, agama, dan P
pers. Di sinalah fungsi pancasila untuk penyeragaman politik, dan upaya menihilkan oposisi. Model Althusserian dalam praktiknya, tidak hanya mengendalikan kebudayaan, tapi dukungan militer (Orba) yang berlabuh pada UU Subversif, yang menakutkan itu, (Rocky Gerung, Majalah Prisma).

BPIP, hadir dalam skema ini, dan anehnya BPIP akhir-akhir rutin provokasi warga negara dengan rutin menyuplai sepenggal kalimat yang mengacaukan kewarasan. Menurut saya, ini kekacauan prinsipil yang mempertontonkan kekacauan fikiran petinggi negara. Hingga pancasila hadir, tak berlebihan disebut ‘pembelah’ keharmonisan dan keakrban warga negara.

Nilai pancasila yang indah itu, jangan dibiarkan berjamur di Pembukaan UUD 1945, atau dibacakan setiap upacara bendera, lebih-lebih memperkeruh suasana. Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa, apalagi ‘klaim’ idiologi negara. Setidak-tidaknya pancasila mesti dipertanggungjawabkan terhadap bagaimana cara para pihak terkait, di seluruh ruang kenegaraan dan kebangsaan. Pancasila mesti benar menjadi ‘gambar besar’ sekaligus ‘pemberi isi’ dari gambar besar itu. Sekarang gambar besar dan pemberi isi kita bukan pancasila. Filsafatnya liberalisme, caranya kapitalis, dan itu bagi saya merongrong dan menggadaikan pancasila.

Kasus tarian tanpa busana di Metzo Eksekutif, hanya partikel kecil dari gunung es, kehilangan pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun bisa dimaklumi, itulah wajah negeri yang pembangunannya ‘tanpa busana’. Oligarki modal, berhak memakaikan busana, termasuk tidak mengenakan busana.

Ini yang saya sebut kerancuan pancasila. Kerancuan yang mengingatkan saya pada ulasan, George Orwell dalam novelnya ‘Hari-Hari di Burma.’ Novel itu menulis secara apik kehidupan bangsa yang dijajah kolonial. “Di negeri yang terjajah, warganya bebas mencuri, merampok, meminum-minuman keras, dan berjinah, tapi tidak bebas berpikir sendiri dan menguraikan pikirannya sendiri. Kebebasan jenis ini, pasti disensor.” Ulasannya ini, saya temukan fenomena dan faktanya dalam penerapan pancasila di Indonesia.

Tidak bisa negara dan bangsa ini dibangun dengan slogan ‘aku pancasila, aku indonesia, pancasila final, NKRI harga mati. Apalagi dengan salam pancasila untuk memamerkan pancasila dan mengkultuskannya.’ Pancasila mesti punya struktur, subtansi, budaya, dan prasarana untuk membuktikan dirinya relevan. Tidak saja di Bumi Indonesia, juga di Bumi Manusia.