Perempuan
Asrarudin Hamid*
(Dokter dan pemerhati sosial di NTB)
KORANNTB.com – Perempuan yang melawan itu seksi. Ia melawan cara pikir yang terkooptasi oleh segala lini. Bahasan paling anyar tentu satu kata, patriarkis. Patriarkis didefinisikan sebagai segala cara pikir bahwa kuasa lelaki adalah kunci dan segala turunannya. Di sana kita akan menemukan semua bahasan baik dari segmentasi isu gender, bias budaya dan tentu saja nilai moral bahkan agama sekalipun. Ulangi, agama. Maka tidak berlebihan ketika kita berbicara apakah agama punya peranan akan isu purba ini? Lazim bukankah bahkan beberapa orang dari kita berkata bahwa “perempuan taat adalah perempuan yang ada di rumah, mengurus anak lalu suami?.”
Membicarakan isu perempuan rasanya memang anomali. Komodifikasi agama hingga titik nadir menyentuh semua lini kehidupan mereka. Kita tidak boleh alpa bagaimana tren ini bahkan membuat cara pikir kita berubah entah ke arah maju ataukah mundur adanya. Padahal jika menengok nama-nama perempuan yang memiliki peranan maju tentang entitas sebuah bangsa atau negara, kita seharusnya malu sendiri jika kenyataannya bahkan sebelum frasa “Negara Indonesia” ada, perempuan adalah satu dari pendobrak cara pikir mundur ini.
Jika kita keberatan menerima Kartini yang melawan feodalisme dan patriarkis khas Jawa, kita sesekali bisa menjadikan Rangkayo el Yunusiyah sebagai role model. Seorang perempuan Minang yang membicarakan kemajuan dengan sekolah, surat kabar dan lain semasa pra kemerdekaan? Ninik mamak dan Minang itu bukannya matrilineal adanya? Kuasa perempuan atas otoritas tubuh dan akalnya?
Perempuan dan Kanker
Tubuh perempuan itu suci. Menilik ini beberapa fakta di bawah ini barangkali bisa menjadi catatan paling penting untuk melihat entitas mereka sebagai makhluk (yang seharusnya) egaliter lelaki.
Data Kemenkes per 31 januari 2019, terdapat angka kanker payudara 42,1 per 100.000 penduduk dengan rata-rata kematian 17 per 100.000 penduduk dan kanker serviks (leher rahim) sebesar 23,4 per 100.000 penduduk dengan rata-rata kematian 13,9 per 100.000 penduduk.
Angka ini menempatkan Indonesia menjadi negara dengan tingkat penderita kanker servis kedua tertinggi di dunia. Kanker payudara penyebabnya idiopatik (belum diketahui pasti) sedangkan kanker serviks disebabkan oleh infeksi virus HPV (Human Papiloma Virus, tipe 16 dan 18-red) yang sayangnya pada stadium awal sering tidak menunjukkan gejala. Pada stadium lanjut atau akhir lazimnya akan muncul pendarahan pada vagina, nyeri panggul, nyeri hebat dan seringkali memiliki imbas berupa berat badan turun secara signifikan.
Sayangnya akses kesehatan bagi perempuan masih sangat rendah. Sebuah penelitian bahkan menukil bahwa angka peserta JKN perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Lalu Apa?
Alih-alih kita sibuk memberikan pemahaman tentang nilai perempuan yang masih bias gender dan patriarkis, sibuk mengkampanyekan agar urusan-urusan domestifikasi ini selayaknya ditegakkan dan perempuan baik adalah yang melulu hanya mengurus anak dan suami maka selayaknya kita harus lebih peduli terhadap hak-hak mereka.
Hak mendapatkan akses kesehatan, hak kemerdekaan atas peranan mereka dalam memajukan kesadaran akan tubuh mereka sendiri. Sebuah harapan bagi segala perempuan yang hingga hari ini selayaknya masih jua diposisikan sebagai makhluk subordinat lelaki.
Domestifikasi perempuan sialnya jua menyasar bagaimana isu-isu besar yang harusnya menjadi isu bersama terkikis akan hal ini. Belum jua kita membicarakan bahwa kenyataannya beban ekonomi acapkali juga menjadi beban mereka. Pada beberapa masyarakat kita dibandingkan membicarakan isu inipun, posisi perempuan memang sangat menyedihkan. Beban kerja dengan upah murah dan rendah dengan isu kapitalisasi adalah persoalan lain. Belum juga urusan kawin-mawin di usia muda, pendidikan rendah, kemiskinan dan penelantaran. Segala urusan ini tentu saja adalah urusan karena cara pandang kita yang sangat patriarkis, memangnya apa?
“Jangan sebut aku perempuan sejati, jika hidup hanya berkalang lelaki”, Pramoedya Ananta Toer.
Selamat Hari Perempuan, merdekalah.