KORANNTB.com – Penyaluran bantuan JPS DPRD NTB untuk masyarakat terdampak pandemi Covid-19 dinilai kurang tepat mekanismenya, baik pengadaan maupun pola distribusinya.

Sejumlah pihak mendesak hal ini diperbaiki, atau bila perlu disetop total.

Hal ini mencuat dalam diskusi virtual “Menakar Keabsahan JPS DPRD NTB” yang digelar Lombok Global Institute bekerjasama dengan Manajemen Pojok NTB, Kamis siang (11/6). Webinar melalui aplikasi Zoom Meeting dihadiri perwakilan anggota DPRD NTB, Sekretaris DPRD NTB, Akademisi Unram, praktisi hukum, dan NGO yang mewakili masyarakat.

Diskusi dibuka dengan pemaparan Sekwan NTB, Muhammad Mahdi yang menjelaskan kronologi dan proses munculnya JPS DPRD NTB.

Mahdi memaparkan JPS DPRD menjadi salah satu masukan pasca reses anggota DPRD NTB. Para anggota dewan menilai perlu berkontribusi membantu masyarakat di masa pandemi Covid-19 ini.

Hal tersebut kemudian dimatangkan melalui beberapa kali rapat pimpinan dewan di DPRD NTB.

Total nilai bantuan sebesar Rp6,5 Miliar. Bantuan tersebut disalurkan berupa paket sembako terdiri dari beras, mie instan, dan minyak goreng bernilai Rp100 ribu setiap paket.

“Saat ini bantuan sudah disalurkan 100 persen di Sumbawa dan yang di Lombok masih tersisa 10 persen lagi yang belum tersalur,” kata Mahdi.

Menurutnya, bantuan JPS DPRD NTB ini juga sudah mengacu aturan dalam Pergub NTB Nomor 22 Tahun 2020 tentang pedoman umum penanganan Covid-19 yang point 5 mengatur tentang pelaksanaan JPS DPRD NTB.

Menanggapi hal tersebut, Prof Dr Zainal Asikin SH MH mengatakan, seharusnya dasar kewenangan pelaksanaan JPS DPRD harus mengacu peraturan lebih tinggi yakni Peraturan Presiden, Instruksi Presiden dan peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Nomor 13 Tahun 2018 tentang pengadaan barang dan jasa dalam keadaan darurat dan SE LKPP Nomor 5 Tahun 2020 tentang pedoman pelaksanaan peraturan LKPP No 13 Tahun 2018.

“Walau Sekwan menganggap JPS DPRD NTB ini ada dasarnya berdasar Pergub 22 tahun  2020 namun pergub tidak mengacu pada peraturan yang lebih tinggi itu,” katanya.

Anggota DPRD NTB, H Najamuddin juga menyoroti tentang distribusi yang dilakukan oleh anggota dewan.

Menurut dia seharusnya, JPS itu disalurkan langsung ke masyarakat penerima sesuai KTP yang diserahkan anggota dewan ke Sekretariat DPRD NTB.

“Ini kan paketnya kok diantar ke anggota dewan, dan kami yang salurkan. Harusnya kan langsung saja ke masyarakat penerima sesuai data KTP,” katanya.

Ia mengaku kesal, akibat hal ini banyak pihak justru menuding DPRD merampok uang rakyat.

“Ini yang kami tidak terima,” tegasnya.

Sementara itu, Lalu Ojie mengatakan, sesuai aturan pihak legislatif tidak bisa menjadi pelaksana program apalagi mengeksesui program bantuan. Sebab, legislatif juga menjalankan fungsi pengawasan.

“Yang jadi pertanyaan kalau dewan yang melaksanakan program, kemudian siapa yang mengawasi?,” tukasnya.

Direktur Logis, M Fihiruddin menegaskan, karut marut JPS DPRD NTB ini harus menjadi pelajaran.

“Kembalikan fungsi DPRD NTB ke khittahnya, khususnya di pengawasan. Sangat naif ketika kita melihat anggota DPRD tentang sembako kesana kemari, padahal itu Tupoksi dari Dinas Sosial,” katanya.

Menurutnya, masih banyak hal-hal yang bersifat sangat urgent yang harus dilakukan ekskutif untuk diawasi. Bukan justru menyalurkan JPS bantuan.

“DPRD harusnya lakukan pengawasan anggaran yang dikelola oleh Dikes NTB dan RSUP Prov NTB dan juga RSUP  Manambai Sumbawa dalam penanganan pasien dan nakes yang ada di daerah ini. Ini kan lebih penting daripada main JPS,” katanya.

Terakhir, Sekjen Fitra NTB, Ramli Ernanda mengatakan sikap DPRD NTB yang mengadakan JPS Dewan dinilai keliru dari fungsi dewan sebagai pengawas jalannya kerja eksekutif. Justru dewan kini terjun menjadi pelaksana dari kerja-kerja yang seharusnya dijalankan eksekutif.

“Dewan seharusnya bekerja dengan fungsi pengawasan. Jika JPS Dewan dijalankan, maka dewan menempatkan diri sebagai pelaksana, bukan sebagai pengawas,” katanya. (red)

Foto: Ilustrasi penerima bantuan