KORANNTB.com – Ketika tim medis bersusah payah berjuang melawan COVID-19 yang telah menjatuhkan ratusan ribu korban, justru DPR mengetuk sahkan RUU Cipta Kerja, Senin, 5 Oktober 2020.

Alih-alih memfokuskan perhatian terhadap penanganan COVID-19, justru kala pandemi dijadikan kesempatan mengesahkan RUU yang penuh kontroversi tersebut.

Padahal, potensi penolakan dari masyarakat akan mengalir saat RUU tersebut disahkan. Aksi massa yang melibatkan kerumunan justru potensi menimbulkan klaster baru COVID-19. Itu semua karena RUU Ciptaker disahkan terburu-buru.

Patut diduga bahwa RUU tersebut disahkan dengan memanfaatkan pandemi. Memanfaatkan kebijakan sosial distancing masyarakat yang melarang adanya kerumunan seperti demonstrasi.

Namun, aksi massa tetap digelar. Masyarakat berpandangan bahwa UU Omnibus Law sama mengerikan dengan pandemi. Bahkan bisa jadi lebih mengerikan. Potensi kerusakan lingkungan, upah yang dipangkas, tanah yang digusur, jam kerja yang bertambah terus menghantui masyarakat.

Di Mataram, Nusa Tenggara Barat, massa akan menggelar aksi pada 8 Oktober. Titik pusat akan dilakukan di Kantor DPRD NTB, menuntut agar Omnibus Law dihapuskan.

Sekjen Serikat Mahasiwa Indonesia (SMI) Mataram, Toni, mengatakan rencana aksi pada 8 Oktober 2020 itu merupakan aksi serentak secara nasional.

“Kita akan melakukan aksi serentak secara nasional 8 Oktober. Pada posisi UU Omnibus Law disahkan 5 Oktober, paska pengesahan memberikan efek buruk bagi masyarakat. Penggusuran akan dilakukan jika bicara soal UU Omnibus Law,” ujarnya, Selasa, 6 Oktober 2020.

Massa terus melakukan konsolidasi untuk pergerakan 8 Oktober. Mendesak menghentikan UU Omnibus Law yang baru saja disahkan dengan cara busuk. (red)