KORANNTB.com – Permasalahan sampah di NTB sudah lama muncul dan menjadi masalah krusial yang cukup sulit dipecahkan. Awal periode Gubernur NTB Zulkieflimansyah dan Wakil Gubernur NTB Sitti Rohmi Djalilah pada 2018 memiliki program zero waste atau NTB tanpa sampah. Alih-alih tuntas, masalah sampah terus muncul dari waktu ke waktu.

Pada 2019, tercatat NTB memproduksi sampah harian sebanyak 3.388 ton dari sepuluh kabupaten dan kota yang ada di NTB. Program zero waste mendapat tantangan ketika kurang sinergitas antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten. Program yang digencarkan Pemprov NTB ini terkesan kurang mendapat respon serius dari pemerintah kabupaten dan kota.

Masalah sampah menjadi dilematis. Lebih-lebih NTB merupakan daerah destinasi wisata super prioritas. Kado manis Presiden Joko Widodo seharusnya disambut dengan menyelesaikan persoalan sampah. Sampah menjadi penghambat pertumbuhan wisatawan datang ke NTB. Persoalan tersebut cukup pelik, apalagi dengan hadirnya Sirkuit Mandalika yang menuntut NTB harus melepaskan diri dari ‘jeratan’ masalah sampah.

Tentu saja persoalan sampah tidak bisa mengandalkan peran pemerintah semata. Meskipun program zero waste dipimpin oleh Wakil Gubernur NTB sebagai ‘panglima’ yang menuntaskan persoalan sampah, namun lagi-lagi pemerintah bukan menjadi petugas kebersihan yang memiliki peran tunggal dalam menghadapi persoalan tersebut. Butuh kesadaran bersama, gerakan bersama dan niat yang sama untuk menuntaskan persoalan sampah.

NTB telah mengeluarkan beberapa regulasi untuk menuntaskan persoalan sampah. Seperti contoh muncul larangan untuk tidak menggunakan kantong plastik di pusat perbelanjaan, ritel modern hingga pasar tradisional. Namun sayangnya itu tidak berjalan permanen. Masyarakat khususnya pedagang-pedagang kecil di pasar tradisional menolak kebijakan tersebut.

Siswa SMAN 1 Woja mengumpulkan sampah plastik

Beruntungnya NTB belum putus asa menghadapi persoalan sampah. Banyak gerakan-gerakan kecil di masyarakat yang turut membantu. Ada gerakan bersih-bersih dari aktivis lingkungan, gerakan dari mahasiswa, pelajar, karang taruna dan lain-lain.

Dari semua gerakan tersebut, yang paling menarik adalah gerakan yang dicanangkan SMAN 1 Woja di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Sekolah tersebut mampu mendaur sampah plastik menjadi energi bahan bakar minyak yang setara premium.

Sampah-sampah yang ada di lingkungan tempat tinggal dan sekolah diwajibkan kepada siswa untuk dikumpulkan setiap Sabtu. Sampah tersebut kemudian diolah menjadi minyak yang setara BBM premium.

Kepala Sekolah SMAN 1 Woja, Eva Patriani, mengatakan minyak yang dihasilkan dari pengolahan dengan bahan dasar sampah.

“BBM ini dari sampah-sampah plastik yang dikumpulkan oleh siswa. Baru kemudian kita olah menjadi energi minyak. Ini minyak sudah diuji setara Prem,” katanya dihubungi, Selasa, 20 Desember 2022.

Cara Sederhana

Eva menerangkan proses mengolah sampah menjadi minyak menggunakan cara sangat sederhana, namun sedikit rumit. Dia mengatakan beberapa alat yang ada di sekitar masyarakat perlu disiapkan terlebih dahulu, seperti:

1. Kaleng (bekas biskuit Khong Guan);
2. Pipa besi berukuran sedang dengan panjang sekitar 90 cm;
3. Lem besi;
4. Selang air;
5. Ember sedang, dan
6. Kompor.

Proses daur sampah menjadi minyak

Setelah bahan disiapkan, giliran merakit bahan tersebut agar menjadi alat untuk menghasilkan minyak dari sampah plastik.

Pertama, kaleng dilubangi pada dua sisi seukuran pipa besi yang telah disiapkan. Kemudian masukan pipa besi tersebut di dua sisi kaleng yang berlubang. Setelah itu lem yang baik pada dua sisi yang sebelumnya telah dimasukkan pipa.

Kemudian hubungkan pipa tersebut dengan selang. Pada bagian selang lainnya diusahakan terendam dalam ember berisi air, namun ujung selang jangan sampai ikut terendam air.

Setelah itu sampah akan diletakkan dalam kaleng dan akan dibakar sedikit demi sedikit. Itu mengandalkan hukum kondensasi atau pengembunan, di mana akan mengubah wujud benda dari padat menjadi cair.

“Namun perlu diingat untuk proses kondensasi itu, butuh air yang dingin. Sehingga pada ember tadi diisi es batu,” kata Eva.

Sekolah tersebut telah membuat banyak alat seperti itu. Masing-masing siswa memiliki kelompok dan akan bekerja menghadirkan minyak. Meskipun menggunakan alat sederhana, namun minyak yang dihasilkan bisa menjadi banyak karena dipasok dengan alat dan tenaga yang banyak.

“Namun yang paling penting, kita bisa memanfaatkan sampah yang menjadi momok yang menakutkan terhadap NTB, menjadi sesuatu yang bernilai ekonomis,” ujarnya.

Menariknya, kini banyak siswa di sekolah tersebut telah memahami cara kerja alat tersebut dan tahu bagaimana menghasilkan minyak dari sampah. Mereka kemudian mengajak keluarga mereka di rumah untuk membuat minyak dengan memanfaatkan sampah.

Siswa SMAN 1 Woja mengolah sampah menjadi minyak

“Jadi sekarang seru sekali. Murid-murid pulang sekolah justru berburu sampah di lingkungan mereka. Ini proses edukasi yang baik,” ujar Eva.

Kini di lingkungan sekitar sekolah, banyak warga telah memanfaatkan sampah untuk dijadikan minyak melalui proses pengolahan dengan cara kondensasi. Minyak yang dihasilkan dimanfaatkan untuk keperluan dapur seperti membakar kayu dan lainnya.

“Jadi bukan hanya soal minyak saja, tapi bagaimana mengedukasi masyarakat kita untuk bijak membuang sampah. Mencintai lingkungan mereka dengan tidak membuang sampah sembarang,” katanya.

“Karena untuk sukseskan zero waste harus dimulai dari mengedukasi ke masyarakat dulu,” ujarnya. (red)