Terkait dengan subjek pelapor, UU No. 7/2017, PERMA Nomor 4 tahun 2017 dan Perbawaslu 8/2022 telah memperluas subjek hukum yang  berhak  melaporkan  kasus dugaan pelanggaran Pemilu (TSM), yaitu tidak terbatas hanya pada peserta pemilu saja, melainkan juga diperluas menjadi Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak pilih dan Pemantau Pemilu.

“Apabila pelapor dapat membuktikan laporannya bahwa Terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan Pelanggaran Administratif Pemilu yang terjadi secara terstruktur sistematis dan masif, maka konsekuensi hukumnya adalah Bawaslu dapat membatalkan Keputusan KPU sepanjang Penetapan terlapor sebagai Pasangan calon diskualifikasi,” katanya.

KPU  wajib  menindaklanjuti  putusan  Bawaslu  dengan menerbitkan  keputusan  KPU  dalam  waktu  paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diterbitkannya putusan Bawaslu.  Keputusan  KPU  dapat  berupa  sanksi  administratif  pembatalan  Pasangan  Calon (diskualifikasi).

Pasangan  Calon  yang  dikenai sanksi  administratif  pembatalan  dapat  mengajukan  upaya hukum  ke a Mahkamah  Agung  dalam  waktu  paling lambat  tiga  hari  kerja  terhitung  sejak  keputusan KPU ditetapkan.

Mahkamah Agung memutus upaya hukum pelanggaran administratif Pemilu  dalam waktu paling lama 14 hari kerja terhitung  sejak  berkas  perkara  diterima  oleh Mahkamah Agung. Dalam  hal  putusan  Mahkamah  Agung membatalkan keputusan  KPU, KPU wajib menetapkan  kembali  sebagai  Pasangan Calon (diskualifikasi). Putusan Mahkamah Agung bersifat final dan mengikat.

“Dalam hal penyelesaian sengketa proses Pemilu yang dilakukan oleh Bawaslu tidak diterima oleh para pihak, para pihak dapat mengajukan upaya hukum kepada pengadilan tata usaha negara. Semua ini harus berjalan baik guna mewujudkan pemilu yang jujur dan adil, serta menciptakan pemilu yang memiliki legitimasi yang kuat serta pemilu yang berdasarkan hukum,” kata TSB.

Seminar Nasional “Peran Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Sengketa Proses Pemilu, Sengketa Pemilihan dan Pelanggaran Administrasi Pemilihan” yang digelar Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Jakarta dibuka oleh mantan hakim agung Prof Gayus Lumbuun.

Turut memberikan sambutan dalam acara itu Dekan FH Unkris Prof Abdul Latief. Dalam Seminar Nasional tersebut, Mahkamah Agung (MA) mengimbau para penggugat pemilu untuk jangan membawa terlalu banyak bukti atau saksi. Sebab, proses pengadilan sengketa pemilu dibatasi waktu.

“Jangan terlalu banyak bukti atau saksi. Ada kecenderungan saksi sebanyak-banyaknya. Pengadilan hanya diberi 21 hari. Bahkan Mahkamah Agung hanya 12 hari,” kata Ketua Muda MA bidang Tata Usaha Negara, Yulius.

Yulius juga membeberkan saat ini MA terkendala jumlah hakim agung yang terbatas dan usia yang tidak muda lagi. Rata-rata hakim agung berusia di atas 60 tahun.

“Jumlah perkara Tata Usaha Negara mendekati 9 ribu per tahun, hakim agungnya cuma 6 orang. Paling muda saya, 65 tahun. Sudah aki aki semua,” ucap Yulius.

Fakta di atas menjadikan beban pengadilan sangat banyak dalam memutus perkara pemilu.

“Ada pil pahit tahun 2019. Seorang hakim TUN meninggal saat sidang. Mungkin karena terlalu capek karena sidang bisa melampaui jam 12 malam,” tukas Yulius.