Seringkali disalahpahami bahwa zuhud semata-mata dengan meninggalkan kenikmatan dunia sehingga harus melakukan   hidup   miskin, fakir, tidak punya apa-apa   dan seterusnya.

Hadis  di  atas  membatasi  seorang  Muslim  bahwa meninggalkan dunia maksudnya bukan tidak mau lagi mencampuri  urusan  kehidupan  dunia,  namun  lebih  dipahami sebagai bentuk keterikatan hati yang dapat melupakan (melenakan) manusia dengan kenikmatan dunia yang sementara ini, sehingga lupa terhadap tujuan kebahagiaan akhirat yang ingin diraihnya.

Hadis ini mengajarkan tata cara (praktik) melakukan zuhud yakni dengan sikap tidak terlalu berharap kepada dunia (tark al-raghabah   fīha).   Jadi   Zuhud  di  dunia ini bukanlah dengan mengharamkan diri dari hal-hal yang dihalalkan  seperti  makan tidak makan daging, atau memberikan seluruh harta yang dimiliki sehingga tidak ada lagi yang tersisa. Akan tetapi zuhud yang sebenarnya adalah sikap hati yang tidak terlalu bergantung  (berharap)  kepada  harta sehingga antara ada dan tidak adanya (misalnya hilang) itu sama saja.  Zuhud itu juga senantiasa mendambakan balasan  dari musibah yang dialami, walaupun dalam kondisi selalu mendapat musibah.

Hadits di atas mengisyaratkan  bahwa  bukan  harta (dan dunia) tidak  penting dalam kehidupan. Tentu  saja  dunia  ini penting untuk menunjang kehidupan manusia, namun dunia (dan isinya) tidak membuat manusia bergantung  kepadanya. Dunia hanya dijadikan sarana untuk taat kepada Allah. Dunia tidak dikejar dan diburu-buru sehingga merasa tidak puas atau merasa sedih karena   tidak mendapatkannya. Dunia hanya jembatan bagi seorang untuk mencari keridhaan Allah.

Link Banner