“Bahan baku co-firing di 52 PLTU membutuhkan 10,2 juta ton biomassa dari hutan tanaman energi (HTE), sehingga risiko deforestasi tak dapat dihindari. Selain itu, energi yang dihasilkan oleh biomassa melalui kegiatan co-firing justru menghasilkan surplus emisi karbon sebanyak 26,48 juta ton,” papar Amalya.

“Oleh karena itu, kita perlu pertanyakan kembali pada setiap paslon capres dan cawapres, seperti apa komitmen mereka terhadap pengurangan emisi melalui transisi energi?” tambahnya.

Amalya menekankan bahwa transisi energi berkeadilan seharusnya: (1) akuntabel, transparan, dan partisipatif; (2) memenuhi dan melindungi HAM; (3) berkeadilan ekologis dan ekonomi; serta (4) transformatif.

Dari sisi tata kelola hutan dan lahan, FWI mempunyai catatan tersendiri bahwa produksi biomassa untuk pemenuhan bahan baku co-firing yang akan diimplementasikan di 52 PLTU di Indonesia juga membawa kecenderungan pada deforestasi.

Pemanfaatan hutan untuk pemenuhan bahan baku biomassa akan mempertaruhkan lebih dari 93 juta hektar hutan alam yang fungsinya juga sebagai carbon capture dan ruang hidup masyarakat.

“Tantangan global, termasuk bagi Indonesia adalah pemanfaatan lahan dan ruang hutan alam agar bisa dipergunakan untuk energi, pangan, dan sumber daya air. Fungsi ini seharusnya ikut diperhitungkan dan dinilai untuk ketahanan pangan dan air. Apalagi hingga tahun 2021, 13 perusahaan hutan tanaman energi (HTE) sudah melakukan deforestasi yang mencapai 55 ribu hektar. Bagaimana komitmen untuk menjaga hutan alam ini, karena pastinya akan ada perluasan  deforestasi jika proyek ini (biomassa untuk co-firing) tetap berjalan,” tutur Anggi Putra Prayoga, Manager Kampanye, Advokasi, dan Media FWI.

Realistis dan Feasible

Menanggapi seruan para pegiat lingkungan tersebut, Drajad Wibowo dari TKN Prabowo-Gibran, memaparkan bahwa program transisi energi yang mereka tawarkan adalah program yang realistis dan feasible.

Drajad menganggap bahwa biomassa adalah opsi yang logis dari sisi pendanaan dan implementasi jangka pendek. Dia melihat memang ada peluang untuk memanfaatkan energi geothermal dan surya, namun prosesnya akan memakan biaya besar dan membutuhkan jangkawaktu yang lama.

“Kita mesti memutuskan bersama, seberapa ideal penggunaan biomassa seperti bioetanol akan digunakan, serta segera action. Dalam proses ini yang penting untuk diperhatikan dalam menjaga kelestarian produksi, ekologi, dan sosial adalah melalui sustainability audit,” imbuhnya.