KPK Ungkap Kasus Korupsi Shelter Tsunami di Lombok Utara
KORANNTB.com – Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu menjelaskan dugaan korupsi proyek pembangunan shelter tsunami di Lombok Utara. Akibat korupsi tersebut, kualitas shelter menjadi menurun.
Dia mengilustrasikan jika terjadi tsunami, maka shelter tersebut akan sia-sia karena kualitasnya menurun akibat dugaan korupsi.
“Ada yang memang tidak digunakan, beberapa yang sudah kami cek, ada yang memang kualitasnya menurun. Ini sia-sia ketika terjadi walaupun kita berdoa tidak terjadi lagi. Ini kan antisipasi,” ujar Asep, Rabu, 10 Juli 2024 dilansir dari VIVA.
Shelter tsunami atau Tempat Evakuasi Sementara (TES) dibangun di Desa Pemenang Barat, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara. Namun setelah kasus dugaan korupsi mencuat, shelter tersebut mangkrak.
Shelter tersebut dapat menampung masyarakat dan menyelamatkan mereka dari terjangan ombak besar. Namun akibat dugaan korupsi, kualitas bangunan menjadi menurun dan rawan roboh.
“Jadi kalau ada tsunami seperti ini bisa digunakan untuk berlindung. Betul, tadi itu ketika ada tsunami, kan diawali dengan gempa, nanti timbul ombak yang besar. Jadi harus tahan berada gempa dan juga bisa melindungi masyarakat dari adanya luapan air laut, tsunami seperti itu,” kata Asep.
Dalam kasus tersebut KPK telah menetapkan dua tersangka. Informasi yang media ini terima, para tersangka darip etinggi PT Waskita Karya (Wika) selaku BUMN pelaksana proyek senilai Rp21 Miliar itu. Satu lagi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang saat ini menjadi petinggi salah satu Balai Wilayah Kementerian PUPR di NTB.
KPK juga telah menemui para saksi di NTB untuk meminta keterangan. Karena para saksi berada di beberapa tempat berbeda, maka KPK mendatangi mereka.
“Jadi beberapa tempat, karena saksi-saksi itu berada di tempat tersebut dan jauh. Kami juga tidak ingin memberatkan para saksi yang harus hadir ke Jakarta, maka kami mengirim tim penyelidik itu datang ke tempat tersebut,” ujarnya.
Asep mengatakan sejauh ini kerugian negara mencapai 19 miliar. “Kerugian negara untuk perkara tersebut sekitar kurang lebih Rp19 miliar,” jelas dia.