Kematian Brigadir Nurhadi Janggal, Ahli Pidana Minta Polda NTB Terbuka
KORANNTB.com – Kasus kematian Anggota Bidang Propam Polda NTB, Brigadir Muhammad Nurhadi di sebuah hotel di Gili Trawangan, menjadi perhatian publik. Pagi tadi, Kamis, 1 Mei 2025 kubur Brigadir Nurhadi telah dilakukan ekshumasi atau pembongkaran untuk dilakukan autopsi.
Ahli Pidana dari Universitas Mataram, Syamsul Hidayat menilai autopsi sangat penting dilakukan untuk mengetahui penyebab pasti kematian korban.
“Memang dalam kasus tertentu khususnya terkait hilang nyawa orang kalau dinilai tidak wajar maka harus dilakukan autopsi,” katanya.
Itu kata dia sesuai dengan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 6 Tahun 2019 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
“Dalam Perkap itu disebutkan dalam kasus tertentu atau tindak pidana tertentu bisa dilakukan autopsi. Jika dari hasil autopsi kematian korban tidak wajar, bisa naik ke penyidikan,” ujarnya.

Itu kata dia merupakan pengungkapan kasus dengan metode Scientific Crime Investigation (SCI) atau metode investigasi kejahatan yang menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi.
“Apa meninggal karena kehabisan napas atau karena benda tumpul, dicekik atau apa itu semua dari hasil autopsi nantinya,” katanya.
Untuk itu dia berharap Polda NTB lebih terbuka lagi mengabarkan sejauh mana hasil penyelidikan maupun penyidikan kasus tersebut kepada publik, sehingga tidak muncul kecurigaan yang lebih dalam lagi terkait kematian Brigadir Nurhadi.
“Polda NTB harus transparan dan terbuka bagaimana hasil penyelidikan, penyidikan dibuka saja. Hasil autopsi dibuka saja karena bentuk akuntabilitas kepolisian,” kata dia.
Dari analisis kriminologi berdasarkan laporan media, Syamsul menilai kasus tersebut memang banyak kejanggalan. Korban dikabarkan meninggal di sebuah kolam pribadi di sebuah hotel. Itu dinilai sangat janggal mengingat kondisi kolam cukup dangkal dan syarat utama menjadi seorang polisi adalah bisa renang.
“Sisi kriminologi dilihat dari TKP (kolam) privat. Kamar pribadi dengan fasilitas kolam pribadi, kemudian yang meninggal APH (aparat penegak hukum) yang melalui seleksi ketat baru bisa jadi polisi, terutama syarat bisa renang,” ujarnya.
“Tetapi ditemukan meninggal tenggelam di kolam yang dangkal. Wajar kalau masyarakat ada tanda tanya, kok bisa polisi jago renang tapi meninggal di kolam renang dangkal,” sambungnya.
Meski demikian, dia berharap publik menanti hasil autopsi untuk mengetahui penyebab pasti kematian korban.
“Tentu kita harus menunggu hasil autopsi ini, agar bisa mengetahui cara kematian dengan saintifik. Ini salah satu teknik dalam proses penyelidikan penyidikan,” ujarnya.