KORANNTB.com – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali menghidupkan kebijakan kontroversial dengan rencana menambahkan 36 negara ke dalam daftar larangan masuk ke wilayah AS. Langkah ini disebut sebagai bagian dari upaya untuk memperketat sistem imigrasi dan meningkatkan keamanan nasional.

Negara-negara yang masuk dalam daftar usulan tambahan tersebut berasal dari berbagai benua, dengan dominasi kawasan Afrika dan Pasifik, serta beberapa negara dari Timur Tengah dan Asia. Di antara negara yang disebut, terdapat Mesir, Suriah, Nigeria, Ethiopia, dan Vanuatu.

Daftar 36 negara yang rencananya akan dikenai pembatasan perjalanan ke AS antara lain Angola, Antigua dan Barbuda, Benin, Bhutan, Burkina Faso, Tanjung Verde, Kamboja, Kamerun, Republik Demokratik Kongo, Djibouti, Dominika, Ethiopia, Mesir, Gabon, Gambia, Ghana, Pantai Gading, Kirgizstan, Liberia, Malawi, Mauritania, Niger, Nigeria, St. Kitts dan Nevis, St. Lucia, Sao Tome dan Principe, Senegal, Sudan Selatan, Suriah, Tanzania, Tonga, Tuvalu, Uganda, Vanuatu, Zambia, dan Zimbabwe.

Menurut dokumen diplomatik yang beredar, negara-negara tersebut diminta untuk melakukan perbaikan dalam sistem dokumentasi perjalanan, meningkatkan kerja sama dalam penanganan imigran ilegal, serta mempercepat penerimaan kembali warga negara mereka yang dideportasi dari AS. Mereka diberikan tenggat waktu 60 hari untuk memenuhi permintaan tersebut. Jika tidak dipenuhi, larangan masuk dapat diberlakukan secara penuh atau sebagian.

Link Banner

Kebijakan ini merupakan kelanjutan dari larangan perjalanan yang telah lebih dulu diterapkan kepada 12 negara, termasuk Afghanistan, Iran, Libya, Somalia, dan Yaman. Selain itu, ada pula negara-negara lain yang diberlakukan pembatasan visa tertentu dengan alasan serupa.

Penambahan daftar larangan ini menuai sorotan internasional, terutama karena menyasar banyak negara berkembang yang memiliki hubungan diplomatik aktif dengan Amerika Serikat. Hingga kini, belum ada keputusan final mengenai penerapan larangan terhadap 36 negara tersebut.

Rencana ini disebut-sebut sebagai bagian dari pendekatan Trump yang lebih keras terhadap isu migrasi, menjelang masa kampanye politik yang mulai menghangat di Amerika Serikat. Beberapa negara yang terdampak dikabarkan tengah meninjau ulang respons diplomatik mereka terhadap kebijakan ini.