Indonesia Punya Tempo, Israel Punya Haaretz
KORANNTB.com – Di tengah gelombang sensor dan tekanan politik terhadap media di berbagai belahan dunia, Haaretz tetap berdiri sebagai salah satu contoh langka dari pers yang kritis dan independen, bahkan terhadap pemerintah negaranya sendiri. Jika di Indonesia publik mengenal Tempo sebagai media yang kerap membuka tabir korupsi dan kebijakan bermasalah, maka di Israel, posisi itu ditempati Haaretz.
Haaretz bukan hanya media tertua di Israel, tetapi juga yang paling vokal mengkritik kebijakan pemerintah, termasuk agresi militer yang dilakukan di wilayah Palestina. Dalam beberapa bulan terakhir, khususnya sejak eskalasi kekerasan di Gaza pada Oktober 2023, Haaretz menjadi satu dari sedikit media arus utama di Israel yang dengan terang-terangan menyorot kebrutalan militer Israel terhadap warga sipil.
Bongkar Kebrutalan di Gaza
Laporan terbaru Haaretz menyebutkan bahwa tentara Israel menerima perintah untuk menembaki warga sipil Palestina yang sedang mencari bantuan makanan dan air di Gaza. Informasi ini diperoleh dari sejumlah sumber militer anonim yang merasa terganggu oleh instruksi yang dianggap melanggar hukum internasional dan etika kemanusiaan.
Dalam salah satu laporan investigatif yang viral, Haaretz mengungkap bahwa penembakan terhadap kerumunan pencari bantuan di perbatasan selatan Gaza bukan insiden tunggal, tetapi bagian dari pola sistematis. “Para tentara diperintahkan menembak setiap kerumunan, tak peduli apakah mereka bersenjata atau hanya membawa kantong tepung,” demikian isi laporan tersebut.
Media ini juga konsisten menulis editorial yang mengkritik sikap pemerintah Israel yang dianggap membiarkan, bahkan mendukung, operasi militer yang menewaskan ribuan warga Gaza, sebagian besar perempuan dan anak-anak. Dalam sebuah opini tajam, Haaretz menyebut bahwa pemerintah Netanyahu “menggelar perang tanpa batas moral”.
Kritik terhadap Netanyahu dan Kebijakan Dalam Negeri
Tak hanya soal konflik Israel-Palestina, Haaretz juga terkenal karena sering menyerang kebijakan domestik Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Mulai dari reformasi yudisial yang kontroversial, kebijakan diskriminatif terhadap warga Arab Israel, hingga tuduhan korupsi yang menjerat Netanyahu secara pribadi.
Pada 2020, misalnya, Haaretz menjadi salah satu media pertama yang secara terbuka menyoroti dugaan campur tangan Netanyahu dalam lembaga peradilan untuk kepentingan pribadi. Editorial-editorialnya kerap menuduh Netanyahu mengancam demokrasi Israel dengan menggerogoti independensi Mahkamah Agung dan membungkam kritik dari oposisi.
Dalam laporan lain, Haaretz juga mengungkap berbagai konflik kepentingan dalam penunjukan pejabat tinggi negara oleh kabinet Netanyahu, serta bagaimana kebijakan-kebijakan tersebut memperlebar jurang ketimpangan sosial.
Melawan Arus
Di tengah dominasi media yang lebih konservatif dan pro-pemerintah seperti Israel Hayom dan The Jerusalem Post, keberadaan Haaretz menjadi semacam “oase kritis” bagi publik yang mendambakan informasi jujur dan mendalam. Gaya peliputannya yang investigatif, editorial yang tajam, serta liputan-liputan yang berpihak pada hak asasi manusia membuat Haaretz disegani—dan dibenci—di saat yang sama.
Meski mendapat tekanan dari kelompok sayap kanan dan bahkan sering dituduh “anti-Israel” oleh kalangan ultra-nasionalis, Haaretz tetap pada jalur jurnalistiknya: mengungkap fakta, meskipun pahit.
Sebagaimana Tempo di Indonesia yang pernah digerebek karena mengungkap skandal Orde Baru, Haaretz menunjukkan bahwa media yang berpihak pada kebenaran akan selalu relevan, meski dalam situasi yang paling penuh tekanan sekalipun.