KORANNTB.com – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nusa Tenggara Barat (NTB) mencurigai bahwa skema pertambangan rakyat yang didorong pemerintah bukan semata-mata ditujukan untuk kesejahteraan warga, melainkan bisa menjadi jalan masuk bagi kepentingan korporasi besar.

“Memilih tambang sebagai solusi keluarnya NTB dari kemiskinan harus merefleksikan praktik tata kelola SDA pertambangan yang saat ini sedang berjalan. Selain itu, harus terbuka: ini benar-benar untuk rakyat atau jangan-jangan ada kepentingan korporasi besar yang sedang bergerak,” ujar Ketua WALHI NTB, Amri Nuryadin, Selasa, 15 Juli 2025.

WALHI menilai, alih-alih memberikan kesejahteraan, skema pertambangan rakyat justru berpotensi mengalihkan beban kerusakan lingkungan dari perusahaan besar kepada masyarakat kecil.

“Jangan-jangan ini skema izin yang ada sekadar memindahkan beban kerusakan dari tambang skala industri kepada rakyat, alih-alih menghadirkan kesejahteraan sejati,” katanya lagi.

Link Banner

Ia juga mempertanyakan makna kesejahteraan yang dijanjikan, bila hanya menguntungkan generasi sekarang dan mengorbankan hak-hak generasi mendatang.

“Kesejahteraan yang seperti apa? Kesejahteraan yang hanya untuk generasi sekarang dan memangkas hak dan keadilan antar generasi mendatang? Sungguh kita tidak adil dengan generasi mendatang yang akan hanya mewariskan kerusakan ekologi,” tegasnya.

Isu ini menjadi salah satu sorotan utama dalam Focus Group Discussion bertajuk “Mendorong Tata Kelola Tambang Rakyat yang Berkeadilan melalui Koperasi”, yang digelar Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tambang Rakyat pada Senin, 14 Juli 2025 di Mataram.

Direktur Eksekutif Daerah WALHI NTB, Amri Nuryadin, dalam paparannya juga menekankan bahwa kondisi geografis NTB sangat rentan terhadap kerusakan ekologis. Ia menyebut karakter wilayah NTB yang terdiri atas gugusan pulau kecil, sungai-sungai pendek, dan garis pantai yang rapuh membuat aktivitas ekstraktif sangat berisiko.

“Sehingga kalau terjadi satu aktivitas yang mengganggu, itu pasti akan berdampak pada lingkungan dan masyarakat sekitarnya secara cepat,” ujarnya.

Amri juga mengkritik pendekatan tambang rakyat yang hanya menyoroti aspek teknis eksplorasi, tanpa membahas ekosistem secara komprehensif. Ia meragukan klaim bahwa tambang rakyat bisa menjadi jalan keluar dari kemiskinan di NTB.

“Pertambangan dan pariwisata sudah lama mendominasi pendapatan daerah, tetapi NTB tetap berada dalam lingkar kemiskinan. Jangan-jangan ini kutukan sumber daya alam,” katanya.

Ia turut menyinggung kasus PT AMG yang dinilai berdampak pada menurunnya debit air irigasi petani, serta lubang bekas tambang seluas 25 hektare yang dibiarkan tanpa reklamasi.

WALHI juga menyoroti lemahnya mitigasi bencana di NTB, yang tercatat mengalami ratusan kejadian bencana alam sepanjang 2022 hingga 2024.

“Bagaimanapun juga, yang namanya tambang itu skala besar, kecil, pasti merusak. Sudahkah kita bicara mitigasi kebencanaan di NTB ini?” tegas Amri.

Meski begitu, WALHI menyatakan tidak menutup pintu terhadap keterlibatan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam. Namun, pengelolaan itu harus dilakukan secara adil, transparan, dan berkelanjutan.

“Tapi kami mendukung kalau rakyat diberikan kesempatan untuk kemudian mengelola SDA. Namun mari hitung dampak dan rancang mitigasi bersama-sama sebelum menambang,” ujar Amri.

WALHI NTB mendesak agar tata kelola tambang rakyat dirancang melalui kolaborasi antara pemerintah daerah, akademisi, dan kelompok masyarakat sipil untuk memastikan keberlanjutan ekologis dan keadilan lintas generasi.