KORANNTB.com – Kondisi cuaca di Nusa Tenggara Barat (NTB) tahun demi tahun semakin tidak menentu. Hujan turun setiap pagi dengan awan kelabu yang menutup. Sawah yang biasanya retak kering di musim kemarau menjadi becek seketika.

Bulan September 2025 yang sebenarnya menjadi puncak musim kemarau, namun diguyur hujan cukup lebat. Akibatnya, petani mengalami kebingungan kapan seharusnya mereka mulai menanam.

Tuaq Amat misalnya, seorang petani di Kecamatan Gerung Lombok Barat merasa kebingungan karena di musim kemarau justru diguyur hujan. Saat media ini mengunjunginya, terlihat dia duduk terpaku di berugak kecil (gazebo) dengan tatapan mata kosong memandang sawahnya usai membersihkan sampah dari sawah yang memiliki luas sekitar 2 are itu.

Memang sawahnya berada di pinggir jalan, yang menjadi tempat olahraga warga di pagi dan sore hari. Hingga tidak jarang, banyak warga membuang sampah makanan di pinggir sawahnya.

Dia bercerita tentang keraguan menanam tembakau di musim kemarau. Karena kemarau cukup singkat.

“Kemarin musim panas (kemarau) sebentar sekali. Kadang hujan masih turun, ndak berani kita tanam tembakau,” katanya, Senin, 29 September 2025.

Sebagai informasi, tembakau idealnya memang ditanam di awal musim kemarau. Namun saat ini, meskipun NTB masih dalam status musim kemarau namun hujan terkadang masih turun.

Dia mengatakan, cuaca tahun-tahun ini memang sering tidak menentu. Kadang hujan di musim kemarau, kadang juga mengalami kemarau panjang yang bahkan untuk kebutuhan mandi pun sangat sulit.

“Tidak tentu (cuaca). Kadang panas, kadang hujan makanya banyak orang sakit, rumah sakit penuh,” ujarnya.

Ini salah satu bukti perubahan iklim memang sudah terjadi. Hidup di belahan bumi tropis yang mengandalkan dua musim, namun justru musim tak menentu, jauh dari biasanya.

Bukti lain yang menunjukan dampak perubahan iklim cukup serius misalnya bencana banjir besar di Mataram pada 6 Juli 2025. Kondisi banjir cukup parah dan luas yang menimbulkan banyak rumah warga di Mataram dan Lombok Barat diterjang banjir.

Pada Minggu pagi, hari yang seharusnya menjadi hari santai bagi masyarakat di Mataram, namun berubah menjadi hari-hari paling panjang. Intensitas hujan cukup tinggi sejak Sabtu malam dan tak berhenti hingga Minggu sore. Imbasnya, aliran sungai dari Kecamatan Narmada Lombok Barat meluas dan menyapu Kota Mataram.

Sejumlah mobil hanyut terbawa banjir di Mataram
Sejumlah mobil hanyut terbawa banjir di Mataram

Ketinggian air mulai dari setinggi mata kaki, naik sebetis hingga sedada orang dewasa. Air di beberapa titik bahkan hinggi ketinggian dua meter lebih. Mobil-mobil warga di Kelurahan Bertais Mataram terseret banjir. Warga berlindung di atap rumah. Nasib baik bagi warga yang rumahnya bertingkat, dapat mengevakuasi diri ke atas.

Kejadian itu menewaskan dua warga akibat sengatan listrik. Satu warga tewas di Mataram dan satu lagi di Lombok Barat.

Banjir yang bersejarah tersebut membuat Gubernur NTB menetapkan masa tanggap darurat selama dua pekan.

Bencana banjir tersebut sangat langka, karena pada dasarian 1 Juli 2025 menurut catatan BMKG adalah musim kemarau.

Andalkan Bantuan

Lukman (37) yang merupakan Komunitas Masyarakat Adat Segala Anyar, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, bercerita tentang susah payahnya masyarakat adat menghadapi tantangan musim yang kian tidak pasti saat ini.

Dia mengatakan, Kecamatan Pujut merupakan daerah yang menjadi langganan kekeringan esktrem. Bahkan saat musim kemarau, masyarakat adat di sana selalu menunggu bantuan air bersih dari pemerintah.

“Kekeringan sering. (Kalau kekeringan) kami ada bantuan dari dinas perairan dari kepala desa, dari buk Camat, dewan saat musim kemarau,” ujarnya.

Memang ada warga di sana memiliki sumur bor. Itu juga cukup membantu warga lainnya dalam mendapatkan air saat musim kering. Namun tentu saja itu tidak cukup menopang jumlah penduduk 300an kepala keluarga.

“Alhamudillah kalau di bulan Agustus tercukupi (untuk mandi) kalau September Oktober kita kekurangan sumber air,” jelasnya.

Sementara saat ada acara adat di musim kering, warga sering urunan membeli satu tangki air yang berjumlah Rp300 ribu. Antrean warga menanti air bersih pun akan terlihat di musim itu.

Susahnya masyarakat adat di Pujut menghadapi perubahan iklim, begitu terasa saat musim kemarau tiba. 

Mencari Emas Biru

Dalam buku Maude Barlow dan Tony Clarke berjudul “Blue Gold: The Battle Against Corporate Theft of the World’s Water,” air dijuluki sebagai emas biru, mengingat pentingnya air sebagai sumber kehidupan di bumi dan sebagai salah satu benda paling tua di bumi ini.

Kata “emas biru” menggambarkan betapa dibutuhkannya air oleh manusia, bak emas bening yang selalu ada dalam kehidupan sehari-hari. Perjuangan untuk mencarinya dirasakan betul oleh masyarakat adat Sengkol Kecamatan Pujut Lombok Tengah.

Tetua adat dari Komunitas Adat Mertepati Sengkol, H.M Yakum (90) mengatakan masyarakat adat begitu merasakan betul bagaimana kondisi kelangkaan air saat musim kering tiba.

Pada komunitasnya, warga harus mencari bantuan mendapatkan air ke desa lainnya yang jaraknya cukup jauh.

“Pernah kekeringan. Untuk mendapatkan air harus ke desa yang jaraknya cukup jauh,” katanya.

Dia mengatakan jika musim kemarau tiba, hampir seluruh warga adat Mertepati mengalami kesulitan air bersih. Sehingga persoalan air menjadi masalah kolektif masyarakat di sana.

Setali tiga uang, Kuncara Ningrat anggota masyarakat adat Mertepati mengaku begitu kesulitan untuk mencari air saat musim kering tiba.

“Setiap tahun kita mengalami masalah dengan air bersih,” ujarnya.

Sebagai solusi, warga sering urunan membeli air di mobil tangki untuk kebutuhan harian masyarakat seperti minum, memasak atau mandi.

“Kita membeli air di tangki kalau betul-betul krisis,” ujarnya.

Selain itu, alternatif mencari air ke desa tetangga juga dilakukan warga jika air sudah betul-betul tidak ditemukan.

Warga lainnya, Inaq Dagul (70) juga mengungkapkan hal yang sama, Masyarakat adat hanya mengalami kesulitan air bersih saat musim kemarau tiba. Alih-alih untuk menanam, untuk mandi pun kesulitan.

“Kalau musim hujan kita tercukupi, tapi kalau sudah musim kemarau, semuanya kesulitan air bersih,” kata dia.

Apa kata BMKG?

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi NTB telah jauh hari merilis informasi iklim untuk Dasarian I September 2025. Meski masih berada dalam periode musim kemarau, beberapa wilayah di NTB mengalami hujan dengan intensitas sedang hingga tinggi.

Kondisi ini umumnya oleh BMKG disebut sebagai kemarau basah, di mana intensitas hujan meningkat meskipun masih dalam musim kemarau.

“Fenomena ini menunjukkan bahwa meski ada potensi hujan, kita tidak bisa mengabaikan ancaman kekeringan di beberapa wilayah. Masyarakat harus tetap waspada dan memanfaatkan hujan untuk menambah cadangan air,” kata Afriyas Ulfah, forecaster BMKG Stasiun Klimatologi NTB.

Meski demikian, dia menyebut kondisi ini masih dikatakan dalam batas normal secara klimatologis.

Sementara di bulan September saat ini, Prakirawan Stasiun Meteorologi Zainuddin Abdul Madjid Praya, Nabilla Akhirta menjelaskan saat ini (30 September 2025) NTB mengalami peralihan dari musim kemarau ke musim hujan. Fase kemarau sebelumnya begitu cukup singkat.

“Saat ini wilayah NTB masih berada pada periode peralihan musim kemarau menuju musim hujan. Perlu dipahami bahwa awal musim hujan di NTB tidak terjadi secara serentak, melainkan bervariasi antarwilayah karena perbedaan kondisi topografi dan adanya dinamika atmosfer,” ujarnya.

“Di wilayah NTB, prediksi awal musim hujan didahului di wilayah Lombok. Berdasarkan hasil analisis iklim, awal musim hujan di sebagian Pulau Lombok diperkirakan akan dimulai pada dasarian III Oktober 2025, khususnya untuk sebagian wilayah Lombok bagian barat, tengah, dan selatan,” sambungnya.

Selanjutnya kata Nabilla, untuk wilayah Lombok bagian Utara, awal musim hujan sebagian dimulai pada dasarian I November 2025. Untuk wilayah Lombok bagian Timur diperkirakan memasuki awal musim hujan pada Dasarian II November 2025. Wilayah lain di NTB prediksi awal musim hujan menyusul sekitar November 2025.

Dia mengimbau masyarakat untuk mewaspadai dampak dari peralihan musim tersebut, seperti cuaca ekstrem yang mengakibatkan bencana hidrometeorologi.

“Kami mengimbau masyarakat untuk tetap waspada terhadap potensi cuaca ekstrem yang dapat terjadi saat pancaroba, seperti hujan lebat yang dapat disertai angin kencang dan petir, dan pantau terus info dan peringatan dari BMKG,” imbaunya.

WALHI Kritisi Tata Ruang

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTB menyebut peran pemerintah sangat krusial untuk menghentikan perubahakan iklim. Melalui regulasi yang ada, WALHI meminta seharusnya pemerintah dapat menegakan regulasi tersebut.

Ketua WALHI NTB, Amri Nuryadin memberikan contoh saat banjir melanda Kota Mataram kemarin. Dia menilai banjir yang terjadi merupakan bukti nyata bahwa pengelolaan tata ruang di Mataram selama ini masih buruk. Ia menyoroti khususnya kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menurutnya belum dimanfaatkan secara maksimal untuk mitigasi bencana.

Direktur Eksekutif Daerah Walhi NTB, Amri Nuryadin
Direktur Eksekutif Daerah Walhi NTB, Amri Nuryadin

“Daerah aliran sungai yang selama ini bisa dimaksimalkan untuk mitigasi bencana ketika air hujan besar, itu harusnya dinormalisasi, diupayakan perbaikan ekosistem dan DAS-nya,” ujar Amri.

Ia juga menyoroti kebijakan pemberian izin pembangunan di wilayah DAS oleh pemerintah Kota Mataram. Menurutnya, banyak izin dikeluarkan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap ekosistem dan daya tampung lingkungan.

“Sampai hari ini, izin-izin yang dikeluarkan Kota Mataram dalam membangun di daerah DAS tidak memperhatikan pentingnya menjaga DAS. Sehingga perlu dilakukan evaluasi tata ruang, khususnya di wilayah aliran sungai,” tegasnya.

Argumen WALHI cukup faktual. Jika mengunjungi Mataram, dapat terlihat bangunan-bangunan besar di pinggir sungai, mulai dari hotel hingga toko. Padahal, dalam Pasal 9 sampai 12 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai memiliki batasan garis sempadan sungai. Jarak bangunan harus 10 hingga 100 meter dari sungai tersebut.

Lebih lanjut, Amri menanggapi persoalan masyarakat yang kerap membuang sampah sembarangan ke sungai. Ia menilai kebiasaan tersebut tak lepas dari pola pengelolaan sampah yang masih konservatif oleh pemerintah daerah.

“Pemerintah kita dalam pengelolaan sampah masih konservatif, buang-tumpuk. Itu yang dicontoh masyarakat. Tapi kalau pemerintah mengupayakan pengelolaan sampah, saya pikir masyarakat akan mengikuti,” katanya.

Menurut Amri, persoalan pengelolaan sampah di Kota Mataram hingga kini masih berkutat pada lokasi pembuangan, bukan pada bagaimana mengolah sampah secara berkelanjutan. “Pemerintah masih memikirkan di mana sampah dibuang, tidak memikirkan di mana sampah diolah,” ujarnya.

Pendangkalan Sungai

Kabid SDA Dinas PUPR NTB, Lalu Kusuma Wijaya memaparkan bahwa banjir yang terjadi bukan hanya soal curah hujan, tetapi karena penurunan kapasitas sungai akibat sedimentasi dan sampah.

“Sungai-sungai kita mengalami pendangkalan. Dari yang awalnya sedalam 5 meter, kini hanya 3 meter. Ditambah lagi tumpukan sampah yang tersebar di saluran, tanah kosong, bahkan badan sungai. Ini turut menyumbat aliran air,” katanya.

Sementara, Kalak BPBD NTB, Ir. Ahmadi menegaskan bahwa penyebab banjir sangat kompleks dan multidimensi. Mulai dari faktor alam, infrastruktur, budaya masyarakat, hingga kerusakan hutan (deforestasi).

“Kalau mau solusi permanen, ya harus tegas menegakkan aturan. Bangunan yang berdiri di badan sungai harus dibongkar. Itu memang ekstrim, tapi lebih efektif daripada solusi tambal sulam,” katanya.

Atasi Kekeringan

Sementara bagaimana dengan kondisi masyarakat adat yang sering mengalami kesulitan mendapat air bersih saat kekeringan? Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal mengatakan telah jauh hari mengantisipasi itu.

“Kita sudah antisipasi kawasan kekeringan itu. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) itu sudah mengantisipasi salah satu potensi bencana itu adalah kekeringan. Jadi itu sudah ada dalam rencana,” katanya.

Antisipasi tersebut dimaksud dengan menyiapkan pasokan air bersih yang akan didistribusikan ke daerah-daerah yang mengalami kekeringan atau kesulitan air bersih.