Masyarakat Adat di Lombok Dihantui Gizi Buruk
KORANNTB.com – Kondisi gagal tumbuh pada anak atau yang biasanya disebut stunting masih membayangi kelompok masyarakat adat di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Penyebab stunting adalah kekurangan gizi pada ibu saat masa kehamilan dan anak saat masa pertumbuhan. Namun itu bukan merupakan penyebab tunggal, dilansir dari Kementerian Kesehatan (kemkes.go.id), selain kekurangan gizi, faktor lingkungan yang kotor, pola tidak higenis hingga kemiskinan menjadi penyumbang naiknya angka stunting.
Tetua dari Komunitas Adat Sengkol Kecamatan Pujut Lombok Tengah, Mari Hidayat (63), mengatakan ada bayi yang mengalami stunting di kelompok adat mereka. Meski demikian dia tidak spesifik menjelaskan berapa banyak jumlah bayi yang mengalami stunting.
“Sekarang ada, tapi kalau untuk jumlah pasti tidak tahu,” katanya belum lama ini.
Pemahaman tentang apa itu stunting dan gejalanya secara medis memang kurang diketahui masyarakat, sehingga cukup sulit untuk mendeteksi dini stunting.
Mavie Adiek Garlosa (23), seorang mahasiswa dari kelompok adat Sengkol juga menjelaskan bahwa stunting memang masih sering menghantui masyarakat adat di Sengkol.
Dia mengatakan, angka stunting tersebut selain disebabkan kekurangan gizi, juga akibat pernikahan dini yang membuat banyak pasangan nikah usia dini tidak matang secara pengetahuan dan finansial. Akibatnya melahirkan bayi yang tumbuh stunting.
“Lumayan tinggi (angka stunting). Itu karena kurang dini dan faktor pernikahan dini,” jelasnya.
Sementara, Komunitas Adat Mertepati Desa Sengkol, Kuncara Ningrat (40) mengakui memang di masyarakat adatnya mengalami stunting, namun ini jauh lebih berkurang dari sebelumnya karena adanya program pemerintah untuk menekan angka stunting.
“Berkurang untuk saat ini, karena ada progrom dari pemerintah untuk mengurangi angka stunting dan gizi buruk,” katanya.
Masih Tinggi
Kondisi angka stunting di NTB secara umum masih tergolong tinggi dari target penurunan.
Kepala Perwakilan Kemendukbangga/BKKBN NTB, Lalu Makripuddin mengatakan angka stunting di angka 29,8 persen dari total kelahiran bayi dan balita berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI).
Pemerintah Provinisi NTB menargetkan angka stunting berkurang di angka 14 persen atau minimal di bawah 20 persen.
“Kita masih cukup tinggi di angka 29,8 persen dari total kelahiran bayi dan balita kalau dari hasil evaluasi SSGI. Harapannya memang di bawah 20 persen dan sedang kita capaikan,” ujarnya.
Dia menjelaskan, stunting dikelompokan menjadi empat kategori berdasarkan status lokus dari stunting itu sendiri.
“Kategori pertama yakni hijau angka stunting kita berada di bawah 20 persen, kuning 20-30 persen, merah 30-40 persen dan hitam di atas 40 persen. Kita tentu tidak berharap merah, kuning, bahkan coklat atau minimal dibawa 20 persen,” ujarnya.
Dia menjelaskan, penanganan kasus tersebut membutuhkan langkah yang cepat dan penanganan yang tepat. Oleh karena itu Pemprov NTB meluncurkan beberapa program untuk menekan angka stunting.
“Misalnya Program GENTING (Gerakan Orangtua Asuh Cegah Stunting) adalah program berkelanjutan, satu orang tua asuh minimal tiga bulan, setelah tiga bulan kita akan cari orang tua asuh lain sehingga betul-betul kita kawal di 1000 hari pertama kehidupan,” jelasnya.
Melalui program tersebut diharapkan dapat mampu menekan angka stunting di NTB saat ini.
Tinggi Pernikahan Dini
Pelaksana Harian (Plh) Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB, Tuti Herawati mengatakan faktor penyebab stunting tinggi di NTB adalah pernikahan dini. Dampak dari pernikahan dini tersebut membuat pola asuh bayi atau balita yang tidak tepat, pasangan usia subur yang tidak sehat, keterbatasan air bersih serta kemiskinan.
“Sehingga diperlukan berbagai intervensi khususnya untuk mencegah pernikahan anak,” ujarnya.
NTB sendiri memang memiliki Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak. Namun Perda tersebut dinilai tidak efektif berjalan karena tidak memuat pasal sanksi.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, Joko Jumadi, mengatakan sebelumnya ada pasal yang memuat tentang sanksi. Namun saat Perda disahkan, justru pasal tersebut dihilangkan.
“Itu seperti roh diambil dari jasad. Banyak sekali teman-teman mengungkapkan kekecewaannya. Sebagian besar terkait pepesan kosong Perda itu,” katanya.

Joko mengatakan, dalam Raperda yang sudah ditetapkan DPRD NTB telah membahas sanksi pidana terhadap orang-orang yang terlibat dalam perkawinan anak, seperti orang tua, Kadus hingga penghulu. Sanksi tidak serta-merta dapat dipidana, melainkan jika dia mengulangi perbuatan serupa memfasilitasi pernikahan anak.
“Jadi tidak ujuk-ujuk dipidana. Tapi jika mengulangi perbuatan serupa,” ujarnya.
Sebelumnya, Pengadilan Negeri Mataram telah menjatuhkan hukuman penjara kepada dua terdakwa yang merupakan orang tua dari pasangan anak di bawah umur yang menikah di Lombok Barat. Putusan dibacakan pada sidang yang digelar Senin, 11 Agustus 2025 dalam sidang perkara pernikahan anak.
Keduanya dijatuhi pidana empat bulan penjara dan denda Rp2 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan satu bulan kurungan. Putusan tersebut sebagai pelajaran bagi orang tua agar tidak menikahi anak di usia yang belum sepatutnya.
Budaya Keliru
Upaya mencegah pernikahan anak ini selain dilakukan secara represif seperti penindakan, juga dilakukan dengan cara edukatif.
Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi sudah sering menyampaikan imbauan untuk mencegah pernikahan dini. Disadur dari Instagramnya, TGB menilai pernikahan pada usia anak membawa lebih banyak mudarat daripada manfaat, baik dari sisi agama maupun budaya.
“Pertama secara agama, saya berpandangan bahwa pendapat dari Darul Iftah al-Mashriyyah (Lembaga Fatwa Mesir), termasuk dari Al-Imam Al-Syekh Ali Jum’ah, yang menyatakan bahwa tidak boleh ada pernikahan di bawah umur, adalah pendapat yang paling kuat untuk masa kita sekarang. Ini bukan hanya dari sisi syar’i, tapi juga sejalan dengan ketentuan perundang-undangan,” ujar TGB.
Menurutnya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa pernikahan usia dini telah menimbulkan banyak dampak negatif, mulai dari putus sekolah, eksploitasi anak, hingga konflik sosial di masyarakat.
TGB juga meluruskan persepsi yang keliru tentang adat pernikahan masyarakat Sasak yang kerap dikaitkan dengan praktik membawa lari (tepelaik). Ia menjelaskan bahwa dalam budaya Sasak, ada dua pintu dalam pernikahan: belakok (diminta secara resmi) dan tepelaik (dibawa lari).
“Yang sering terjadi sekarang adalah penyalahgunaan pintu kedua, yaitu tepelaik. Banyak yang menjadikannya ajang eksploitasi anak-anak perempuan kita. Ini mengakibatkan putus sekolah, sanksi sosial, bahkan konflik antara keluarga,” ungkap mantan Gubernur NTB dua periode tersebut.

TGB menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat Lombok mulai dari tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh budaya untuk bersama-sama menyampaikan bahwa pintu pernikahan melalui tepelaik sudah saatnya ditutup.
“Sudah saatnya kita satu suara, demi kebaikan dan masa depan anak-anak kita. Jangan sampai adat justru menjadi pintu masuk bagi ketidakadilan dan pelanggaran hak anak,” ujarnya.