Mahasiswa Unram Gugat UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi
KORANNTNB.com – Permohonan uji materi UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang terhadap Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diajukan empat pemuda dari Forum Mahasiswa Pengkaji Konstitusi (FORMASI) Universitas Mataram (Unram).
Unram mencatat sejarah baru dalam bidang konstitusi. Untuk pertama kalinya, mahasiswa dan alumni kampus tersebut terlibat langsung dalam sidang pendahuluan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Pilkada.
Sidang perdana perkara Nomor 104/PUU-XXIII/2025 digelar di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, pada Kamis, 10 Juli 2025. Perkara ini menguji Pasal 139 ayat (1), (2), (3) serta Pasal 140 ayat (1) dalam UU Nomor 1 Tahun 2015 terhadap Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Para pemohon adalah empat pemuda yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Pengkaji Konstitusi (FORMASI) Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Politik (FHISIP) Unram, yakni Yusron Ashalirrohman, Roby Nurdiansyah, Yudi Pratama Putra, dan Muhammad Khairi Muslimin.
Sidang berlangsung secara campuran, dengan dua pemohon hadir langsung dan dua lainnya mengikuti secara daring. Persidangan dipimpin oleh Majelis Panel Hakim Konstitusi yang terdiri dari Prof. Dr. Saldi Isra sebagai ketua, serta Dr. Ridwan Mansyur dan Dr. Arsul Sani sebagai anggota.
Selama sidang, para hakim memberikan berbagai masukan guna penyempurnaan permohonan. Sidang berlangsung lancar dan menjadi pengalaman pertama kalinya bagi pemohon dari kalangan mahasiswa di NTB.
Uji Materi Soal Kewenangan Bawaslu
Dalam permohonannya, para pemohon menyoroti kelemahan Undang-Undang Pilkada dalam memberi kewenangan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Mereka menilai UU tersebut mereduksi peran Bawaslu hanya sebagai pemberi rekomendasi, bukan pemutus pelanggaran administrasi seperti dalam UU Pemilu.
Menurut pemohon, rekomendasi Bawaslu dalam konteks Pilkada tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, tidak bisa dieksekusi, dan sering diabaikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal ini dianggap memicu ketidakpastian hukum dalam penyelenggaraan Pilkada, sebagaimana terjadi pada 2018, 2020, dan 2024.
Padahal, MK dalam Putusan Nomor 48/PUU-XVII/2019 sebelumnya telah menyamakan kedudukan pengawas dalam Pemilu dan Pilkada. Para pemohon menilai seharusnya kewenangan Bawaslu dalam Pilkada juga bersifat mutatis mutandis sebagaimana dalam Pemilu.
Melalui permohonan ini, mereka berharap mahkamah dapat mengembalikan kewenangan Bawaslu dalam menangani pelanggaran administrasi Pilkada, demi menjamin keadilan dan kepastian hukum dalam proses demokrasi lokal di masa depan.