KORANNTB.com – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram menyoroti maraknya pemberitaan media massa yang dinilai bias gender dan tidak etis dalam memberitakan kasus kematian Brigadir Nurhadi, yang menyeret seorang perempuan berinisial M sebagai tersangka.

Kritik itu mengemuka dalam diskusi virtual yang digelar AJI Mataram bersama Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal serta Satuan Tugas Anti-Kekerasan Seksual AJI Indonesia pada Jumat (11/7/2025) malam. Diskusi ini mengangkat keprihatinan atas maraknya berita sensasional yang mengeksploitasi identitas tersangka perempuan, alih-alih berfokus pada substansi kasus yang melibatkan unsur kepolisian.

Judul berita yang provokatif, penggunaan foto yang memuat unsur seksisme, serta narasi yang merendahkan tersangka perempuan dinilai sebagai bentuk objektifikasi terhadap perempuan. Beberapa media bahkan memuat informasi pribadi M tanpa persetujuannya. Tindakan yang dianggap sebagai pelanggaran privasi.

Ketua AJI Mataram, Wahyu Widiyantoro, menyayangkan sikap sebagian media yang lebih mengejar klik daripada menjunjung prinsip jurnalistik yang adil dan profesional.

“Jurnalis harus mengawal kasus ini sampai tuntas tanpa terdistraksi dengan sensasionalisme untuk mendulang klik atau views. Mari fokus pada kerja-karja profesional untuk pemberitaan yang adil gender,” kata Wahyu.

Ketua Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) NTB, Haris Mahtul, juga menekankan pentingnya menjaga independensi dan integritas dalam peliputan.

“Jurnalis harus tegak pada fakta dan mendorong keadilan pada kasus ini. Jangan membuat framming dengan narasi bombastis dan sensasional pada gender tertentu,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Bidang Gender, Anak dan Kelompok Marjinal AJI Indonesia, Sinta Maharani, mengingatkan agar media lebih fokus pada substansi kasus.

“Kawan-kawan jurnalis mari kawal kasus ini sampai tuntas. Mengungkap motif dan kejanggalan pada kasus ini jauh lebih bernas dan bermutu daripada mengeksploitasi M sebagai tersangka,” tegasnya.

Anggota bidang yang sama, Nurul Nur Azizah, juga menyesalkan stigmatisasi yang diarahkan kepada tersangka.

“Stigmatisasi pada gender tertentu tidak boleh dinormalisasi. Penting juga jurnalis dingatkan untuk tidak asal buat berita dari komentar netizen. Hanya mengambil sensasi dari warganet.

“Ok klik dikejar agar media populer tetapi hal itu tidak mengedukasi publik. Mari kembali pada kerja profesional sesuai pasal-pasal dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ),” kata Nurul.

Anggota lainnya, Ocha Mariadi, menyoroti praktik profiling terhadap M yang dinilai telah melanggar hak privasi.

“Ada upaya penggiringan opini sehingga memecah perhatian publik kepada pribadi M, sehingga tidak menanyakan lebih jauh transparansi dan proses penyidikan kasus ini,” katanya.

Menurut Ocha, penyebaran informasi pribadi seperti latar belakang keluarga, prestasi, hingga kondisi psikologis tersangka adalah bentuk pelanggaran.

“Doxing belum terlihat spesifik, tetapi terjadi pelanggaran privasi. Menulis latar belakang keluarga dan prestasi M ini bentuk pelanggaran privasi.

Menyebut M kesurupan juga pelanggaran. Ini dapat menimbulkan stigma dan diskriminasi. Publik jadi bertanya tentang kondisi psikologis M,” jelas Ocha.

Pemberitaan yang bias gender bertentangan dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), khususnya Pasal 8 yang menolak prasangka dan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin serta pelabelan yang merendahkan martabat. Pasal 2, 3, 4 dan 9 KEJ juga mengatur kewajiban menghormati privasi, asas praduga tak bersalah, dan larangan terhadap penyebaran berita bohong atau cabul.

Dalam pernyataan resminya, AJI Mataram menyampaikan lima sikap:

  1. Mendorong jurnalis menulis berita yang fokus pada proses hukum yang adil, bukan identitas gender tersangka.
  2. Mengimbau media menghentikan praktik sensasionalisme, seksisme, dan penyebaran informasi pribadi M tanpa izin.
  3. Mendesak redaksi mematuhi pedoman media siber dan Kode Etik Jurnalistik.
  4. Mengajak publik turut memantau dan melaporkan pemberitaan bermasalah ke Dewan Pers.
  5. Mengingatkan bahwa produk jurnalistik adalah hasil kerja kolektif redaksi, sehingga kritik terhadap pemberitaan sebaiknya dialamatkan ke institusi media, bukan perorangan.

AJI Mataram berharap media dapat kembali pada prinsip-prinsip jurnalisme yang beretika, tidak hanya menyajikan informasi akurat, tapi juga memperhatikan dampak sosial dari setiap pemberitaan.