Akademisi Bantah Keberadaan Cek Bocek di Sumbawa: Tidak Diakui Masyarakat!
KORANNTB.com – Klaim keberadaan Masyarakat Adat Cek Bocek di Sumbawa menjadi kontroversi akhir-akhir ini. Cek Bocek mengklaim memiliki wilayah adat yang perlu mendapat pengakuan secara legal hukum.
Keberadaan Cek Bocek yang mengklaim merupakan masyarakat adat yang cukup tua di Sumbawa menjadi kontroversi di tengah masyarakat.
Akademisi sekaligus Wakil Rektor II Universitas Samawa, Muhammad Yamin, dengan tegas membantah keberadaan Cek Bocek.
“Memang Cek Bocek itu tiba-tiba muncul dia saat tambang di Dodo Rinti mulai dibuka, mulai eksplorasi. Dan memang secara historis enggak pernah ada,” katanya dihubungi, Ahad, 28 September 2025.
Yamin mengatakan klaim Cek Bocek memiliki historis sendiri tentang keberadaan mereka sangat mengada-ada dan bertentangan dengan sejarah masyarakat di Sumbawa sendiri.
“Dari jaman kerajaan dulu kalau saya baca dia punya proposal mengada-ada tentang sejarah yang mereka buat sendiri. Tidak semua masyarakat yang dulunya tinggal di Dodo Rinti merasa diri cek Bocek,” terangnya.
Iming-iming Kompensasi
Dia menyebut Cek Bocek justru didirikan belum lama ini dan diprovokasi oleh pihak luar untuk mengejar kompensasi dari perusahaan tambang.
“Ada segelintir orang dan orang luar yang provokasi dengan iming-iming hibah akan diberikan kompensasi besar oleh perusahaan tambang. Main triliun bukan miliar,” ujarnya.
Yamin meragukan klaim keberadaan Cek Bocek karena tidak memiliki sejumlah komponen layaknya masyarakat adat lainnya. Bahkan Yamin turut meneliti histori kepindahan masyarakat dari Dodo Rinti.
“Secara struktural adat gak pernah ada. Saya pernah di sana. Saya teliti alur kepindahan masyarakat dari Dodo ke Lawin, Ropang. Memang belum ada,” jelasnya.
Bahkan kata Yamin, orang yang menyebut dirinya sebagai datu (pemimpin) Cek Bocek pernah dekat dengannya.
“Saya kenal orang mengaku datu saya pernah tinggal di rumahnya. Bahkan mereka masih bekerja di yayasan yang dibentuk Newmont dulu,” ujarnya.
Ditolak Masyarakat
Yamin yang merupakan eks dewan mengatakan Cek Bocek sebelumnya pernah mengajukan pengakuan dalam bentuk rancangan Perda. Bahkan usulan tersebut sudah diakomodir DPRD setempat.
Namun, saat anggota dewan melakukan uji publik, justru mendapat perlawanan hingga penolakan masyarakat.
“Desa tempat kami uji publik dulu semua menolak. Sakit hati semua. Tidak ada satupun yang mengakui Cek Bocek. Sehingga Perda eggak jadi dibahas tapi dibatalkan,” ujarnya.
Dia menjelaskan dalam sejarah Sumbawa tidak pernah ada Cek Bocek. Bahkan katanya Cek Bocek tidak memiliki peninggalan adat, struktur adat dan tanah adat.
“Pernah memang ingin membuat rumah adat sendiri di hutan lindung. Itu ditegur oleh Polhut,” ungkapnya.
Dia mengatakan klaim Cek Bocek sejarahnya pernah diusir kesulitan tidak benar. Secara historis kata Yamin, saat itu masyarakat dipindahkan dari Dodo Rinti karena kondisi wabah yang terjadi pada masa itu.
“Ada bekas masjid peninggalan dipindah oleh kesultanan karena ada wabah dipindah di Desa Lawin, Ropang dan Lunyuk. Bukan diusir,” katanya.
Dari data sejarah, Yamin mengatakan masyarakat Dodo Rinti kala itu memiliki sub bahasa berbeda atau dikenal dengan bahasa induk. Itu karena masyarakat di sana terdiri dari berbagai macam suku di Indonesia, seperti Jawa, Sulawesi hingga Lombok.
“Sehingga lahir unit bahasa baru tetapi mereka tetap menggunakan bahasa induk ketika turun,” katanya.
“Kalau di tingkat lapangan masyarakat gak hiraukan. Mereka provokasi masyarakat dengan penjualan SPPT fiktif. Dengan iming-iming akan ada kompensasi besar dari PT Newmont. Saat itu proposal yang diiming-imingi ke masyarakat,” ungkapnya.
Yamin mengatakan, dirinya pernah ditawari untuk bergabung bersama Cek Bocek dengan iming-iming diberikan SPPT.
“Saya cukup tahu karena pernah diajak rapat awal-awal membentuk Cek Bocek. Saya diajak mewakili teman dosen dengan iming-iming dikasi SPPT, segala macam lah. Itu sekitar tahun 2007-2008,” ujarnya.
Bahkan Yamin mengatakan orang yang mengajak dirinya dulu kebetulan satu partai dengan dirinya.
“Dia memang pragmatis hidupnya,” ujarnya.
Bahkan, datu Cek Bocek saat ini dulunya cukup dekat dengan Yamin. Dia mengatakan saat itu tidak pernah terlontar kalimat yang menyebut dirinya datu.
“Datunya pernah satu kampung sama saya, dia menganggap dirinya sebagai datu. Dia ketua yayasan bentukan untuk pemberdayaan masyarakat dari New Moon tiba-tiba sekarang muncul menganggap datu,” ujarnya.
Sementara klaim Cek Bocek memiliki ritual adat, Yamin juga membantahnya.
“Kalau berkaitan upacara adat saat panen itu umum seluruh masyarakat Sumbawa begitu,” ujarnya.
Tuntut Perusahaan Bertanggungjawab
Sebelumnya, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumbawa, Febriyan Anindita yang aktif mengadvokasi Cek Bocek mengeritik keberadaan perusahaan tambang yang diklaim masuk ke wilayah adat Cek Bocek. Itu disampaikan ke Copper Mark sebuah lembaga sertifikasi pertambangan internasional.
Dia mengatakan terbatasnya akses masyarakat ke wilayah leluhur, terisolasinya kuburan nenek moyang, hingga intimidasi aparat keamanan dan satuan pengamanan perusahaan.
“Bagi kami, ini bukan hanya soal kerusakan material, melainkan ancaman terhadap identitas dan budaya,” ujar Febriyan sebagaimana disadur dari Laskar Merdeka.
Dia mengatakan masyarakat adat Cek Bocek tidak merasakan langsung masyarakat tambang.
“Kesultanan tidak merasakan langsung dampak tambang. Kami yang kehilangan akses dan dihantui intimidasi,” tegasnya.
Lebih lanjut, Febriyan mengatakan menuntut pengakuan kesalahan perusahaan dan pemulihan hak masyarakat adat.
“Yang kami tuntut sederhana: pengakuan atas kesalahan perusahaan dan pemulihan hak kami. Jangan samakan kami dengan kesultanan, karena yang menderita adalah masyarakat adat,” ujarnya.