Meneropong Legitimasi antara Penolakan dan Keberterimaan Publik

Oleh: Satria Madisa

Viral!!! Beberapa spanduk tolak Rocky Gerung, Ustad Haikal Hasan dan Neno Warisman beredar di beberapa titik di Kota Mataram. Tidak berhenti pada spanduk dan deklarasi, beberapa orang mengeluarkan narasi penolakan dengan alasannya. Sekelompok warga NTB pun menggelar demonstrasi (5/3) berkumpul di Bundaran Gerung, long march di Kota Mataram, bahkan menyasar hotel di kawasan Senggigi. Tempat jadwal Rocky Gerung dan Haikal Hasan mengisi talk show 9 Maret.

Spanduk penolakan, pesan video, dan demonstrasi memiliki orientasi dan kerangka narasi yang sama. Walau keotentikannya perlu ditelusuri. Kesamaanya terletak pada tujuan besar mereka. Intinya tolak RG Cs. “Mereka tukang pembelah ummat, mereka tukang provokasi, mereka penyebar ujaran kebencian.” Apakah mereka juga didesain aktor politik yang sama, wallahualam. Warga NTB bisa menilai secara objektif.

Pertama, saya ingin memulai menganalisis, legitimasi di balik beredarnya spanduk dan demonstrasi pencekalan RG cs dengan pertanyaan-pertanyaan. Apa motif yang prinsipil di balik penolakan sekelompok orang tersebut? Apakah benar mereka peduli terhadap NTB? Apakah benar RG cs provokatif, memecah belah ummat, dan penyuplai ujaran kebencian serta, tepatkah mereka menyeret NTB sebagai basis legitimasi penolakan? Ataukah ini hanyalah desain politik menjelang 17 April mendatang?  Tentang konstelasi Jokowi-Amin dan Prabowo-Sandi.

Motif dalam gerakan sosial sangatlah penting. Berfungsi sebagai ide penuntun, basis nilai, dan indikator suksesi gerakan. Dalam skala yang besar, motif yang prinsipil bukan hanya menentukan sebagai legitimasi, tapi juga penjabaran pada publik. Menghimpun opini publik untuk selaras dengan apa yang kita perjuangkan sangatlah esensial. Inilah pembeda sederhana gerakan sosial yang bertujuan membangun dengan gerakan ecek-ecek, amatiran yang justru merusak.

Motif peduli terhadap NTB tidak tepat disandingkan. Mengingat tawaran konsep kepedulian bukan hanya samar-samar, juga mengkerdilkan psikologi sosial NTB, khususnya Lombok yang dikenal santun dan ramah. Salah satu cara yang tepat mengkampanyekan pariwisata menurut hemat saya iyalah dengan terus memperlihatkan keramahan, dan mengesplorasi sisi baik dan unik dari pariwisata dengan kerja dan narasi yang bermutu.

Kedua, apakah benar RG cs provokatif, pembelah ummat, dan penyuplai ujaran kebencian? Terlebih dulu kita artikan apa itu provokasi, membelah ummat, dan penyuplai ujaran kebencian. Di sini metode perbandingan bisa dijadikan penyanding naratif.

Provokasi menurut KBBI: perbuatan untuk membangkitkan kemarahan, tindakan menghasut, penghasutan dan yang melakukan provokasi menyadari akibat yang ditimbulkan mengundang pertumpahan darah. Sementara ujaran kebencian (hate speech) dalam artian hukum: perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku maupun korban dari tindakan tersebut (Wikipedia). Membelah umat Islam (dikotomi kelompok) saya tidak temukan di KBBI. Sebelum Rocky Gerung cs dilahirkan ke bumi manusia, umat memang tidak pernah berhenti terbelah. Bukan karena ada pembelahan, ataupun karena RG cs, manusia memang hobi membelah diri. Apalagi dalam konteks Pilpres, Umat Indonesia memang terbelah sedikitnya 3 bagian. Pro Prabowo-Sandi, PROJO, dan Golput. NU dan Muhammadyah saja banyak terbelah menyikapi realitas kebangsaan dan keagamaan kecuali soal tauhid. Apalagi Pilpres dengan semua kerumitannya, menyusul banyaknya aktivitas pengklaiman, penyesatan data dan persekusi.

Terkait ujaran kebencian, saya kira Kepolisian RI lebih mengerti, menyusul banyaknya anak bangsa yang dipidana karena perkara yang satu ini. Rocky Gerung cs bukan terpidana ujaran kebencian. Pembelahan umat secara normatif terlalu berlebihan. Bukankah NKRI HARGA MATI? Lagi dan lagi, warga NTB berhak berpendapat dan menilai. Siapakah yang pantas disebut demikian. Menurut saya, klaim provokatif terhadap Rocky cs tidak tepat dan miskin narasi.

Bagaimana dengan Pilpres dan pertarungan Prabowo-Sandi dan Jokowi-Amin?

Pilpres kali ini memang menggelitik. Takdir rakyat terbelah, tapi tidak tepat rakyat berinisiatif saling membunuh, saling menghakimi, dan mengkerdilkan sesama NKRI. Bukan karena harganya mati, melainkan pengalaman historis yang belum berbicara, bahwa pantas saling membunuh, menumpahkan darah karena Pilpres. Kecuali itu didesain tangan yang tak terlihat, untuk mencapai kekuasaan. Ah… Indonesia bukan negeri fasis apalagi komunis.

Kita lihat mulai dari petinggi negeri, sampai emak-emak di kampung, ceria menyaksikan momentum sakral ini dengan pilihan masing-masing. Bahkan saya dan bapak saya beda pilihan, enggak pernah bertengkar, apalagi dendam.

Merambahnya kontestasi dari kalangan elit ke kalangan akar rumput menurut saya dalil yang tepat penolakan terhadap RG cs. Pengalaman historis menuju Pilpres memberikan wahana yang layak disandingkan. Persekusi dan penolakan terhadap dai kondang Abdul Somad, Ahmad Dhani, Rocky Gerung, bahkan Sandiaga Uno di Bali beberapa hari yang lalu, patut disinyalir karena ketidaksenangan, kebencian, kita terhadap  perbedaan pilihan politik. Dan menurut saya, hanya dengan legitimasi ketidaksenangan mereka terhadap perbedaan pilihan politik, dan merambatnya narasi pesanan elit, alasan rasional dan meyakinkan publik, adanya penyebaran spanduk dan demonstrasi penolakan tersebut. Bukan karena peduli NTB bukan pula mewakili nalar kolektif warga NTB. Bila demikian sehatkah kita memperagkan cara yang begitu dalam menjabarkan pesan dan etika demokrasi?

Rocky Gerung, Haikal Hasan, dan Neno Warisman, bila mereka hadir untuk kegiatan kampanye, sah-sah saja. Yang senang dan menerima silahkan memeriahkannya. Yang tidak senang dan membencinya, silahkan tidak menghadiri. Begitupun manakala Abu Janda, Ali Ngabalin, dan Grace Natalie hadir di NTB untuk kegiatan kampanye. Yang benci silahkan diam saja di rumah, urus kegiatan yang bermanfaat, yang cinta padanya silahkan merapat dan menghadiri petuahnya.

Kita warga NTB lagi-lagi sepantasnya tidak saling membenci, memusuhi, dan memperkusi karena Pilpres. Dan bila rasa benci mesti harus ada, salurkan secara tepat dan benar.
Berbeda pilihan dalam demokrasi keniscayaan. Saya pilih Prabowo-Sandi, bapak saya pilih Jokowi kita akur dan baik-baik saja.Tidak bisa kita paksa warga NTB untuk semua mendukung Prabowo, sebagaimana kita paksa untuk milih Jokowi. Begitupun dengan persoalan RG cs, tidak bisa kita paksa untuk membenci dan mencercanya, sebagaimana tidak bisa kita paksa untuk semua mencintainya.

Dalam demokrasi cinta dan bencipun harus tersalurkan dengan benar, etis, dan mendidik. Manakala ada sengketa pikiran, seyogyanya disidangkan dengan konflik akal sehat di ruang yang lebih ilmiah dan akademis.

Penolakan vis to vis Keberterimaan RG cs

Alasan perbedaaan jalur politik pun tidak tepat dihadirkan di NTB. Beda ceritanya saat dihadirkan di basis massa Jokowi-Amin. Sebut saja di Bali, NTT dan Papua. Mengingat NTB lumbung basis Prabowo Sandi.

Mengapa demikian? RG cs, bukan hanya kritis terhadap pemerintahan. Melainkan melekat elektabilitas yang besar. Siapa yang tak mengenal RG? Tak berlebihan beliau idola baru anak muda milenial dari latar belakang pemuda dan mahasiswa. Abu Janda saja yang rutin asal bunyi cukup membantu menggeruk suara 01 apalagi sekaliber Rocky Gerung.

Legitimasi publik di NTB tentu akan semakin luas. Dibantu penolakan puluhan orang yang mendemo menolaknya. Kok sedemikian takutkah mereka, mereka ini siapa, pasti dari sana dengan cepat-cepat dijustifikasi publik. Tanpa saya telanjangi sekalipun motif dan siapa di balik penolakan itu, mayoritas publik mengerti. Pun demikian gerakan penolakan dengan ragam atas nama, bukan hanya menguras keringat dan suara, caci makipun harus disiap diterima. Bola panas pun bergulir Prabowo-Sandi tetap diuntungkan. Karena di setiap ada penolakan dan pencekalan selalu sasarannya pihak 02 dan yang ada kaitannya dengan 02. Maka penolakan RG cs menambah daftar panjang kepanikan demokratis, di irama demokrasi yang harus kita pertinggi kualitasnya.

Bila RG cs, pihak 01 maka penulis meyakini, tidak aka nada penolakannya di NTB apalagi jika penolaknya adalah mahasiswa. Dengan terpaksa kita diseret pada kebencian politis, yang hati dan pikiran sebenarnya tidak menghendaki itu. Saya yakin memang di dunia maya maupun dunia nyata keberterimaan publik lebih besar dibandingkan resistensi publik. Apakah pendemo menyadari penolakan balik publik terhadap penolakanya? Rabu (6/3) terjadi pengusiran demo penolakan Neno Warisman di BIL. Masyarakat Tanah Awu (Lingkar Selatan) mengusir paksa pendemo, yang dianggap bisa memicu konflik. Tanah Lombok terbuka untuk siapapun yang datang mengunjunginya. Tidak terkecuali RG cs. Begitulah nalar warga menyikapi demo penolakan yang mengkalaim “Kami Warga NTB, Menolak RG cs.”

Pada tanggal (5/3) sekitar pukul 14.00 penulis membuat jajak pendapat di akun facebook pribadi. Pertanyaannya setujukah RG Cs datang ke NTB? Pilihan jawaban ada dua, setuju ataukah tidak? Sampai tanggal (6/3) pukul 19.39 Wita sudah 1.007 pemberi suara. 855 atau 85% netizen menyatakan setuju. Sementara 152 netizen menyatakan tidak setuju, atau 15%.

Geliat resistensi warga NTB terhadap beberapa warga yang menolak, sangatlah masif dan luas. Kita dapat menduga bahwa memang lebih banyak yang mengharapkan mereka hadir daripada tidak. Dan tidak sedikit mereka yang teriak menolak provokatif, malah ditanggapi “merekalah provokatif itu.”

Inilah akibat gerakan sosial yang tidak memiliki motif prinsip yang jelas. Bukan malah menjabarkan pesan yang mengajak warga bersama-sama untuk seirama, malah memancing warga mementaskan keadilan jalanan. Sekarang kita memilih yakin terhadap warga yang segelintir menolak ataukah nalar publik, yang tanpa dikonsilidasikan menikam.

Sebagai mahasiswa yang tak jarang terlibat dalam gerakan massa, baik isu kedaerahan maupun nasional, saya melihat ini sebagai sekolah pembelajaran yang bermanfaat. Ke depannya anak muda yang memiliki semangat dan pengetahuan yang cukup untuk berjuang dijalanan, penting meyakinkan publik, dengan isu yang diperjuangkan. Apalagi bila gerakan memperjuangkan hajat hidup publik. Landasan dan arah perjuangan pun harus dituntaskan, sejak dalam pikiran maupun dalam aksi. Menurut saya keberterimaan public indikator gerakan sosial.

Pilpres kian mendekat. Pesta rakyat ini, harus dimeriahkan dengan kesejukan, kedewasaan, dan pikiran yang sehat. Tegang biasa, kompetisi lumrah, beda pilihan niscaya, dan mari kita sambut dengan terbuka. Toleransi harus dibudidayakan dengan sikap menghargai perbedaan. Anak bangsa tidak boleh saling hujat, saling caci maki, dan saling persekusi. INI DEMI NKRI HARGA MATI! Persaudaraan dan kehangatan berwarga negara nomor 1, presiden nomor 2.