Oleh: Abdul Ali Mutammima Amar Alhaq

Peneliti Gen Z Dialog Circle (Genial) NTB dan Mahasiswa Magister UIN Mataram

KOLOM – Pernikahan di kalangan masyarakat di Pulau Lombok dikenal dengan istilah merariq yang melalui proses melarikan seorang gadis, sebagai pertanda awal dari proses pernikahan. Artinya jika seorang gadis telah dilarikan oleh seorang pria, maka kemungkinan besar itu adalah awal dari prosedur perkawinan dalam tradisi Lombok. Beberapa hari berikutnya akan datang keluarga dari pihak laki-laki ke pihak perempuan untuk mengabarkan bahwa putrinya sudah dilarikan (untuk menikah) oleh laki-laki yang menjadi calon suaminya.

Begitu halnya dengan proses pernikahan di Kabupaten Lombok Timur relatif lebih mudah, sehingga hal ini sedikit tidak berpengaruh terhadap tingginya tingkat perceraian. Demikian halnya dalam poligami, pada umumnya poligami di masyarakat Kecamatan Masbagik Kabupaten Lombok Timur dilakukan oleh laki-laki yang cukup mapan secara ekonomi, dengan proses yang cukup mudah. Bahkan pada umumnya poligami di Kecamatan Masbagik Kabupaten Lombok Timur dilakukan tanpa tercatat di KUA dan dilakukan secara sederhana.

Perkembangan dan dinamika hukum keluarga Islam di Indonesia tidak bisa lepas dari beberapa tema yang masih mengendap, mengundang kontroversi, dan tidak kunjung usai diperdebatkan seperti perkawinan beda agama, keadilan dalam pembagian waris, posisi dan peran perempuan dalam keluarga, masalah teknis administratif perkawinan dan perceraian, poligami. Baik sebelum maupun setelah lahirnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974.

Dari sebelum lahirnya UU No. 1 Tahun 1974, terbitnya Inpres Tahun 1991 hingga sekarang, masalah poligami yang oleh hukum Islam diperbolehkan hingga batasan empat, selalu dipertanyakan keadilan dan keberpihakan hukumnya terhadap perempuan. Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 kemudian sedikit memberikan kabar gembira, terutama bagi perempuan, dengan diberlakukannya syarat-syarat tertentu bagi laki-laki yang mempunyai hasrat untuk berpoligami. Hanya saja, dalam penerapannya banyak timbul penyelewengan seperti memanipulasi izin isteri, standar rendah dalam kesanggupan memberi nafkah, atau dengan tidak mencatatkan perkawinannya. Tidak mencatatkan perkawinan berarti meniadakan dan tidak menganggap adanya syarat-syarat tertentu yang ditetapkan dalam UU.

Dengan demikian, adanya perkawinan yang tidak tercatat menjadi salah satu faktor pendukung praktik poligami. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah: apakah masalah-masalah di atas terlalu rumit untuk diselesaikan dan terlalu kusut untuk diuraikan.Dalam konteks yang lain, persoalan semacam ini menjadi semacam proses yang sedang berjalan menuju suatu kesepakatan tertentu yang memang penyelesaiannya tidak bisa instan, tetapi membutuhkan waktu cukup lama untuk mencapai kesepakatan?

Sementara itu, secara sosiologis, poligami juga berdampak terhadap perubahan struktur sosial yang lebih bertumpu pada adat-budaya masyarakat setempat. Secara adat-budaya, poligami relatif tidak sepenuhnya diterima secara sosial oleh masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari ketidakberterimaan masyarakat terhadap laki-laki yang melakukan poligami. Kendati demikian praktik poligami di tengah masyarakat Kecamatan Masbagik secara formal diterima karena masyarakat memandang hal tersebut dilegitimasi oleh hukum dalam syriat Islam sendiri.

Meskipun pada dasarnya terdapat suatu kondisi yang tidak mungkin (mustahil) untuk ditunaikan, yakni keadilan dalam kasih sayang, perasaan, cinta dan semacamnya, namun selama kemampuan berbuat adil dalam bidang materi seperti pengadaan nafkah (sandang, pangan, papan) dan kebutuhan lainnya dapat ditunaikan maka izin poligami dapat diperoleh.

Poligami dalam Perspektif Hukum Positif Regulasi tentang pernikahan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam undang-undang tersebut diatur pula tentang poligami, juga termuat dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam bagi pemeluk agama Islam.

Meskipun pada dasarnya, asas yang melekat dalam undang-undang perkawinan adalah asas monogami (satu suami satu istri) akan tetapi mengakomodir praktik poligami yang bisa jadi merupakan alternatif dari asas perkawinan yang ada.Menurut Yahya Harahap bahwa asas hukum dalam undang-undang tersebut tidak berimplikasi pada asas monogami mutlak tapi menerapkan asas monogami terbuka.

Pasal 3 ayat 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa: “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.” Melalui pasal ini, dapat dinyatakan bahwa Undang-Undang Perkawinan yang menjadi rujukan formal perkawinan di Indonesia menganut asas monogami terbuka. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan dalam keadaan tertentu dibolehkan melakukan poligami, tentu dengan prosedur dan mekanisme yang berlaku sesuai dengan regulasi yang ada.

Namun demikian, secara yuridis poligami dalam masa sekarang ini, tidak dapat dilakukan dengan tanpa pencatatan, artinya praktik pernikahan poligami harus tercatat di Kantor Urusan Agama untuk tertibnya administrasi perkawinan sebagaimana amanah dari undang-undang. Dalam Pasal 58 Kompilasi Hukum Islam memberikan syarat bahwa untuk memperoleh izin pengadilan agama, harus pula memenuhi syarat- syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 41 huruf (b) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.