Amnesti Baiq Nuril: Ketika Jokowi Didesak Menjadi Hakim
Oleh: Taufan, S.H., M.H
(Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Mataram)
BAIQ NURIL, kembali menjadi pusat perhatian, setelah memutuskan menempuh langkah permohonan Amnesti, Presiden Jokowi telah mengeluarkan surat permohonan pertimbangan kepada DPR. Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) menolak langkah Peninjauan Kembali (PK) atas Putusan MA yang menerapkan pidana berdasar Pasal 45 ayat (1) UU ITE yaitu pidana penjara 6 bulan dan denda 500 juta, subsider tiga bulan penjara.
PENUNDAAN EKSEKUSI
Normalnya, berdasar hukum pidana Indonesia, kasus Baiq Nuril telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) pada upaya hukum kasasi, perbuatannya terbukti sebagai pelaku, subjek hukum yang bersalah memenuhi unsur Pasal 27 ayat (1) UU ITE, sehingga harusnya menjalankan pidana. Namun, kontroversi penafsiran Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang dianggap sebagai “sumber masalah”, diperkuat kampanye #saveibunuril dan narasi “korban pelecehan seksual” yang didukung arus media nasional maupun internasional, menampilkan fakta alternatif, di luar fakta pengadilan, memaksa jaksa menabrak KUHAP, menunda eksekusi terhadap terpidana Baiq Nuril.
Di samping itu, kasus Baiq Nuril sebagai “korban pelecahan seksual” bersamaan dengan momentum dorongan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Baiq Nuril dianggap sebagai representasi “korban pelecahan seksual” yang perlu diselamatkan, sekaligus mendesak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan.
TAHAPAN AMNESTI
Permohon amnesti Baiq Nuril diyakinkan pula oleh Presiden Jokowi yang sebelumnya memberikan harapan untuk mempertimbangkan pemberian amnesti, hal demikian tertulis dalam surat Baiq Nuril untuk Presiden yang di dalamnya menagih janji pemberian amnesti oleh Presiden.
Tahapan permohonan amnesti yang telah bergulir, Presiden Jokowi mengabulkan permintaan Baiq Nuril dengan dikeluarkannya surat tertanggal 15 Juli 2019, perihal permintaan pertimbangan atas permohonan amnesti kepada Ketua DPR. Dengan demikian, tahapan amnesti menanti pertimbangan politik DPR.
DASAR HUKUM AMNESTI
UUD NRI 1945 mengatur amnesti pada Pasal 14 ayat (2), yang menyatakan “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Pelibatan DPR dalam pengambilan keputusan memberikan makna bahwa hak prerogatif tersebut diperlukan pertimbangan politik (Hiariej, 2016).
Amnesti dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1945 tentang Amnesti dan Abolisi sebagaimana tercantum dalam konsideran menimbang, adalah untuk melaksanakan Pasal 96 dan 107 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Sementara, ketentuan Amnesti di bawah UUD NRI 1945 (pasca amandemen) belum dibentuk. Adapun, pemberian amnesti berdasarkan ketentuan tersebut, diberikan kepada semua orang yang sebelum tanggal 27 Desember 1949 telah melakukan sesuatu tindak pidana yang nyata akibat dari persengketaan politik antara Republik Indonesia (Yogyakarta) dan Kerajaan Belanda.
Ketentuan tersebut memang tidak relevan terhadap dasar pertimbangan pemberian amnesti Baiq Nuril, namun dapat dijadikan bahan hukum untuk menelusuri jejak amnesti. Di samping itu, dalam pemberian amnesti perlu menelusuri dokumen risalah sidang perumusan Pasal 14 ayat (2) UUD NRI 1945. Dapat dicermati, lingkup dan dasar ketentuan amnesti diperuntukan bagi kejahatan politik.
DALIL AMNESTI
Jikapun terhadap kasus Baiq Nuril terdapat dalil, “sebagai kasus yang tidak bisa dilihat sebagai kasus pidana biasa yang berdiri sendiri, tetapi berdimensi kepentingan negara yang luas, mengingat data kekerasan seksual, oleh karenanya perlu pemberian Amnesti, untuk melindungi para korban kekerasan seksual.”
Walaupun dalil tersebut kemudian menimbulkan banyak pertanyaan dan secara hukum Baiq Nuril tidak dibuktikan sebagai korban, pengampunan harus tetap berdasar hukum. Sebagai bangsa yang beradab, kekerasan seksual harus dilawan, secara logis, dengan cara hukum, yang sudah kita sepakati. Negara telah menyediakan saluran peradilan untuk membela diri secara adil, sayangnya saluran tersebut tidak dipercaya, dituding menjadi robot hukum, tidak progresif. Presiden didesak turun tangan mengatasi kekacauan, untuk bertindak menjadi “hakim”.
Dasar pemberian Amnesti tidak patut jika memberi kesan menabrak norma, catatan sejarah serta dasar hukum amnesti harus selalu dipertimbangkan. Catatan pemberian grasi dan amnesti yang ditulis oleh Daniel Pascoe (2017), dalam “Legal Dilemmas In Releasing Indonesia’s Political Prisoners”, diberikan oleh Presiden Jokowi kepada tahanan politik. Keputusan Presiden Jokowi mengabulkan amnesti Baiq Nuril, mencatatkan sejarah pemberian amnesti di luar “kejahatan politik”. Amnesti dan pengampunan adalah instrumen yang sah menurut hukum internasional dan karenanya solusi yang sesuai dan dapat diterima untuk penyelesaian hukum tindak pidana dalam konteks konflik bersenjata (Fernando Travesí dan Henry Rivera, “Political Crime, Amnesties, and Pardons”, 2016).
FUNGSI PRESIDEN
Perlu diingat bahwa, kurang tepat apabila Presiden menafsirkan konstitusi dan undang-undang. Hak prerogatif presiden sudah ditentukan macamnya dengan pembatasan tertentu. Jika diberikan ruang penafsiran oleh Presiden, maka sangat berbahaya, karena akan mudah terjatuh pada deteurnement de pouvoir (penyalahgunaan wewenang).
Memang, siapapun berhak menjadi penafsir, dalam konteks pengembanan hukum praktis, itu hanya dimiliki aparat penegak hukum. Tapi hanya hakim yang bernilai secara yuridis. Tugas dan kewajiban presiden sudah ketat diatur melalui undang-undang. Dalam kondisi negara darurat sekalipun kekuasaan presiden selalu terkontrol. Dia harus harus tunduk dan taat pada Konstitusi dan undang-undang.
Negara telah menyediakan fungsi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai langkah antisipasi mendesaknya kondisi sebuah negara. Peraturan Pemerintah dan aturan ke bawah hingga Perda dibuat secara jelas dan terang benderang agar penguasa bisa mengetahui apa yang harus dilakukannya. Warga negara mengetahui apa hak dan kewajiban. Jika ada konflik maka peradilan lah jalan untuk menyelesaikannya.
PILIHAN KE DEPAN
Presiden memang memiliki kewenangan untuk memberikan amnesti Baiq Nuril, berdasarkan hukum, mengeluarkan peraturan perundang-undangan, dengan jalan membuat Perppu. Hukum progresif memiliki roh bergerak dari norma. Peluang yang seharusnya selalu dipertimbangkan menghadapi kegentingan adalah pembentukan Perppu. Dengan demikian, pemberian ampunan dan langkah Presiden memiliki dasar hukum yang jelas.
Setelah dipertontonkan berbagai “akrobat hukum”, sepatutnya publik memperkuat apresiasi terhadap Putusan MA yang berkekuatan hukum tetap (inkracht), semua upaya hukum sudah ditempuh untuk membela diri secara adil. Diskursus mendelegitimasi peradilan dan narasi seolah-olah Baiq Nuril tidak menjalani proses sidang yang tidak adil, harus dihentikan. Hal demikian menyuburkan ketidakpercayaan dan kecurigaan mendalam terhadap lembaga peradilan, sungguh berbahaya bagi keberlanjutan sistem peradilan pidana yang tengah kita yakinkan.
Kasus Baiq Nuril dan kasus-kasus lain harusnya menjadi refleksi bagi hukum pidana Indonesia, di samping tuntutan penegakan hukum yang progresif dalam pembacaan moral teks hukum dan revisi UU ITE, perlu mendesak pembahasan RKUHP dan RKUHAP. KUHP dan KUHAP sebagai sistem induk hukum pidana Indonesia perlu diintegrasikan dengan hukum pidana di luar KUHP, termasuk ketentuan dalam UU ITE.(red)