Satria Madisa

“Sangat tidak etis. Pantas dikritisi. Di ujung masa bakti, 50 anggota DPRD NTB periode 2014-2019,  menghabiskan 3,5 miliar APBD, ke Benua Eropa dan Australia untuk kunjungan kerja. Study banding mencari hiburan, jalan-jalan saja. Menyedot sensasi di tengah rekonstruksi rumah korban gempa di Lombok Utara yang belum selesai. Lagi, nasib pendidikan yang terjebak dalam kubangan kemelaratan. Dari 34 provinsi di Indonesia, NTB menempati nomor punggung 33 untuk kualitas pendidikan paling buruk. Belum lagi ratusan desa di NTB di semua kabupaten mengalami krisis air. Potensi krisis ekologis ditengarai akibat pembabatan hutan, infrastruktur timpang, maraknya aktivitas politik jalan raya (pemblokiran jalan) di Bima dan Dompu demi pembangunan.”

Kutipan di atas, tak berlebihan mewakili semua jenis penolakan (ketidaksetujuan) warga NTB, merespon kunjungan kerja wakil rakyat ke luar negeri. Kritik itu datang dari HMI Mataram, Fitra NTB, Somasi NTB, IMM, akademisi hingga aktivis mahasiswa.

Jejak digitalnya bisa dicek dalam media massa. Saya kira, inilah semiotik (tanda) dari psikologi publik yang ‘mulai muak’ dari tingkah perwakilannya.

“Kami kesusahan, mereka malah ingin berleha-leha. Kami tertimpa musibah, mereka malah beramai-ramai menghibur diri.”

Apa Kata DPRD NTB…?

“Kunker bukanlah tiba-tiba direncanakan. Itu direncanakan lama, awal tahun 2019 dijadwalkan. Tapi karena kendala tertentu, baru bisa dieksekusi sekarang. Izin sekertaris negara (Sekneg) menteri dalam negeri (Mendagri) rekomendasi gubernur telah kami kantongi (menunggu izin Kementerian Luar Negeri). Kunker itu tak melanggar aturan. Di sana (Eropa/Australia) kita bisa banyak belajar (study banding) tentang pendidikan, ekonomi, dan hasilnya kita bawa pulang ke NTB.” Itulah keseluruhan narasi dari jawaban Sekertaris Dewan di media massa menanggapi resistensi rakyat.

Itu juga gambaran dari psikologi birokrasi kita dengan karakter khusus seperti yang digambarkan George Orwell dalam novelnya “1984”. Menurut Orwel tugas birokrasi, pertama menciptakan ketergantungan rakyat sehingga mengubah kedudukan birokrasi. Birokrasi yang das sollen (seharusnya) melayani, kini malah dilayani (das sein). Kedua, menciptakan aturan untuk mendukung ketergantungan. Saya melihat birokrasi ala Orwellisme hidup dalam diskursus publik dari absennya “rasa keadilan” dalam alibi “hiburan” 7 hari 50 anggota DPRD ke bumi jauh seberang sana.

Ironi. Belum pulih psikologis warga dan kerugian materil paska gempa lombok, DPRD NTB sudah merencanakan kunjungan kerja di luar negeri (bukan uang pribadi) di awal tahun 2019 meski akan dilakukan bulan sekarang. Padahal, ketidakpastian hukum warga korban gempa mulai timpang ditengarai faktor anggaran dan berbelit-belitnya janji penguasa. Parah. DPRD NTB seakan berenang-renang ramai-ramai ditengah belum berhentinya tangisan rakyat korban gempa.

Seperti Kerja Birokrasi Kolonial

Apa tugas dan fungsi DPR? menyerap, mengumpulkan, dan menjembatani aspirasi rakyat. Rocky Gerung bahkan menyebutkan bahwa tugas DPR ialah menggonggongi penguasa. Berdebat dan berkelahi dengan penguasa. Oleh peraturan perundang-undangan DPR diberikan fungsi anggaran, legislasi, dan pengawasan dengan hak-hak istimewa untuk leluasa mengonggongi dan berkelahi, memperjuangkan kepentingan masyarakat.

Tak ada dalam tugas DPR (teks) bersama-sama memangkas hak rakyat, mencuri uang rakyat, merampok uang rakyat, mempermainkan nalar dan nurani rakyat, apalagi berkelahi dan mengonggongi rakyat. Bila ada yang demikian? itulah kamuflase. Bukan DPRD melainkan penjajah yang memakai baju perwakilan, seperti yang digambarkan George Orwell dalam novelnya “Hari-hari di Burma”. Watak kolonialisme birokrat sederhana, kelihatan menyerap tapi menghisap. Kelihatan diam tapi mensensor. Watak itu diceritakan dalam seorang pribumi bernama U Po Kyin. Dia saat miskin (kurus kering) kekurangan makan. Mencuri di pasar aja kerjaanya. Setelah berkuasa, kelebihan makan, badannya gendutan, perutnya lebar, dan tentunya menghisap. Demi aturan dan administrasi, U Po Kyin juga pandai berbohong (dengan kuasa) untuk melegalisasi perampokan nalar dan uang rakyat.

DPRD NTB bukan hanya perlu membatalkan jalan-jalan di luar negeri. Melainkan harus meminta maaf secara terbuka, untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. Asumsi yang berkeliaran dulu saja, telah merusak citra. Diilustrasikan DPRD sebagai kumpulan orang-orang yang tugasnya meributkan proyek saja. Masih hidup dalam ingatan dan nalar rakyat. Jangan ditambal dengan asumsi sebagai mesin pemakan uang rakyat secara sadis, setelah sekian lama tak memiliki kontribusi rill untuk mengakomodir kepentingan masyarakat di dapil masing-masing.

Infrastruktur Pemerintah Provinsi di Bima ‘terpaksa’ diambil alih Pemda Kabupaten. Rakyat, mesti harus blokir jalan, meski tersalahkan Bupati Bima. Bupati mesti bersurat. Tugas DPRD nya apa..?

Penyerap ataukah Penggiling Nalar (Uang) Rakyat?

Nalar rakyat di NTB masih belum pulih. Pengetahuan membuat akses ketergangguan dinikmati seperti tak mengidam masalah serius. Belum pulihnya nalar rakyat tentu datang dari sebab-sebab alam, dan cara kerja penguasa yang melampaui batas.

Gempa lombok masih meninggalkan luka. Penegakan hukum yang rawan menggunakan logika pasaran, IPM NTB masih terkekang di angka yang tak menggembirakan. Kesenjangan masih padat. Akses ekonomi dimonopoli para pemilik modal. UKM masyarakat menengah ke bawah belum bertumbuh pesat. Sektor agraria masih rawan diamputasi modal. Sedang kerawananan kerusakan ekologis mulai memperlihatkan tanda-tanda yang gawat.

Hutan di NTB 75 persen rusak. Sumber mata air sangat langka, krisis air di mana-mana. Sedang keruntuhan peradaban di Pulau Sumbawa menunggu waktu. DPRD harusnya fokus dalam menemukan solusi dengan menyiapkan pengaturan narasi untuk terus dan berkelanjutan membenahi masalah di NTB di semua sektor strategis. Fokus menggonggi eksekutif, termasuk fokus membayar tunggakan Rp2 miliar dari kerugian negara, efek perjalanan dinas sebelumnya.

“Tugas filosofis DPRD iyalah mencerdaskan kehidupan masyarakat NTB.”

Itulah menurut saya mengapa DPRD perlu dibekali pengetahuan filosofis, ketajaman memahami fenomena dan fakta sosiologis. Agar tak terpaku dengan hal yang normatif dan positifis, seperti perkara tak melanggar hukum, dan mengantongi izin dalam jalan-jalan ke luar negeri. DPRD NTB itu tugasnya sebagai mesin penyerap yang sadis dalam berjuang dalam menjembatani harapan-harapan masyarakat. Bukan mesin pemakan uang rakyat yang paling buas juga sadis. Apalagi dalam setiap kebijakannya justru berpotensi menggiling nalar dan uang rakyat.