Oleh: Satria Madisa

Mengerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi (penguasa) ini…Ah tidak. Aku tak suka pada priyayi. Gedung-gedungnya yang berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka Tanpa Perasaan.

(Pramoedya Ananta Toer; Gadis Pantai)

Aula Sidang Utama DPRD Kabupaten Bima saksi bisu, 45 anggota DPRD yang di bacakan ketua Pengadilan Negeri Bima, Haris Tewa, 25 September 2019 dalam prosesi pelantikan. Momentum itu, menjadi akhir pengabdian sistemik anggota DPRD periode 2014-2019, sekaligus awal untuk anggota DPRD periode 2019-2024. Tercipta juga sejarah. Seorang milenial Muhammad Putera Ferryandi Putra, (1995) ditetapkan menjadi ketua DPRD.

Anak sulung Almarhum Ferri Zulkarnain (Bupati Bima dua periode) dan Dinda Dhamayanti Putri (Bupati Sekarang) telah di “tunjuk” DPP Partai Golkar menjadi ketua DPRD (Partai Pemenang Pileg). Setelah DPD II Golkar yang diketuai Ibunya yang bupati Bima itu merekomendasikan tiga nama. Sampai di situ, Yandi iyalah pendobrak. Sama seperti kiprah ibunya. Terpilih jadi Bupati perempuan pertama di Indonesia Timur. Yandi jadi ketua DPRD termuda di Indonesia Timur. Sekaligus merontokan politisi senior, dengan perolehan suara terbanyak, Pileg beberapa bulan yang lalu.

Saya meragukan terciptanya keseresaian dan keseimbangan pengelolaan pemerintah daerah, tatkala Ekekutif dan Legislatif di kuasai satu keluarga. Hubungan biologis, kekerabatan (darah) bagaimanapun menghalangi objektifitas (manusiawi). Namun saya legah, membaca stetmen Yandi di media massa, bahwa dia akan profesional menjalankan tugas dan fungsinya. Profesionalisme secara sederhana diartikan sebagai kekuatan tekad, memimpin lembaga legislatif untuk berkiprah sesuai rule model. Mengabaikan hubungan darah. Relasi politis. Relasi kuasa. Sampai disitu, keraguan saya pecah. “Ini dinasti politik yang baik. Tidak korup. Seperti hasil riset dan data ICW.”

Yandi dalam politik praktis “barang baru.” Kedudukan ibunya, sebagai Ketua DPD II Golkar dan Bupati Bima menentukan hasil akhir Pileg sampai pada ditunjuk menjadi ketua DPRD. Tanpa peran massif dari beliau, Yandi bahkan tidak representatif mendulang suara sampai 1000 suara dalam pileg. Anak raja tidak punya peran signifikan, dalam elektoral. Dia berhenti pada kekuatan moral saja.

Berdasarkan asumsi ini, semua instrumen politik Ibunya digerakan untuk memastikan tercapainya tujuan. “IDP pembuat jalan tol, Yandi mencetak sejarah milenial gemilang.” Dengan narasi lain, IDP iyalah ibu (biologis), Guru Politik (king maker), ketua partai yang menjadi bupati. Kita berpikir sederhana, pelan_pelan saja. Dimanakah ruang masuk profesionalisme tatkala formatnya demikian?

Yakin Profesional?

Saya ingin mengajukan empat pertanyaan sederhana untuk menguji komitmen profesionalisme Yandi. Dengan semua situasi, yang nampak terang juga telanjang. Sanggupkah anak melawan ibunya? Murid melawan gurunya? Kader partai melawan ketua partai? Penguasa melawan donatur kuasanya? Hanya karena mampu melawan 1 tubuh empat peran, Yandi bisa profesional. Bila tidak, terbukalah kesempatan, anak muda pendobrak itu menjadi ketua DPRD “Pemain Pengganti.” Ketua DPRD kamuflase saja. Terkesan profesional di ruang publik, bersekongkol diruang privat nan terselebung.

Saya akan kembali mengurai. Tidak dalam kapasitas mencela tanpa dasar. Apalagi memuji yang mengabaikan nalar. Saya ingin menulis ini sebagai tugas gagasan, sebagai tanda cinta putra daerah, yang resah atas budaya demokrasi kita yang mengabaikan etika. Tidak ada problem konstitusional yang dilecehkan. Secara normatif, politik dinasti bertumbuh sangat baik, karena konstitusi kita membiarkan demokrasi tanpa baju. Karenanya yang berkuasa dan pengendali kuasa, juru ukur baju, menurut seleranya saja. Senada dengan meningkatnya aktifitas korupsi, yang dibukakan jalannya oleh dinasti politik. Dalam hal ini, feodalisme ditubuh politik nasional hingga lokal, bermahzab oligarki modal masih menjadi Tembok batu besar yang mengerikan. Menjadi niscaya, tatkala partai politik kekinian, malah menjadi pilar hadirnya raja-raja besar (nasional) dan raja-raja lokal. Raja baru itu, sedimikian kukuh saat penegakan hukum mendagangkan hukum rimba, juga hukum gula. Senada dengan penjelasan Jeffrey Winters dalam bukunya “Oligarki” bahwa demokrasi tidak serta merta menghapus praktik oligarki. Bahkan sebaliknya, demokrasi justru acapkali menjadi lahan subur bagi merebaknya oligarki.

“Lengkaplah luka masyarakat akar rumput yang tak terlatih memainkan dagelan-dagelan.”

Dinasti Politik Korup dalam Data

Data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyebutkan, tahun 2010 ada 206 kepala daerah yang tersangkut kasus hukum. Tahun selanjutnya, Kemendagri mencatat secara rutin yaitu 40 kepala daerah (tahun 2011), 41 kepala daerah (2012), dan 23 kepala daerah (2013). Berdasarkan pantauan ICW sebanyak 183 kepala daerah menjadi tersangka kasus korupsi dalam kurun waktu tahun 2010 hingga 2015, 6 diantaranya terkait korupsi dinasti politik. Bupati yang menjadi tersangka korupsi mencapai angka 110, walikota 34 orang, wakil bupati sebanyak 16 orang, gubernur 14 orang, wakil walikota berjumlah 7 orang, dan wakil gubernur sebanyak 2 orang. (http://www.antikorupsi.org.id)

Dilansir dari Berita Tagar.id yang di akses Selasa, 8 Maret 2019 ada 6 Dinasti Politik korup. Pertama dinasti Ratu Atut Choisyiah di Banten. Kedua, Dinasti Kutai Kartanegara. (Syaukani Hassan dan Rita Widysari adalah ayah dan anak, keduanya mantan bupati Kutai Kartanegara dan sama-sama terjerat kasus korupsi). Ketiga, dinasti Cimahi. (Itoc Tochija dan Atty Suharti menjadi tersangka kasus suap proyek pasar Cimahi. Ketika menjadi tersangka, Atty adalah walikota Cimahi, meneruskan kepemimpinan suaminya yang sudah menjabat dua periode). Keempat adalah dinasti Fuad Amin di Bangkalan, Madura. (Fuad Amin menjabat Bupati Bangkalan selama dua periode dan dilanjutkan anaknya, Makmun Ibnu Fuad. Fatalnya, di saat yang sama Fuad Amin justru menjabat sebagai ketua DPRD Bangkalan).

Kelima dinasti Klaten yang digawangi oleh keluarga Haryanto. (Ia sendiri menjabat Bupati Klaten selama dua periode. Istrinya, Sri Hartini masuk ke gelanggang politik dengan menjadi wakil Bupati Klaten, Sunarna. Karir Hartini pun berlanjut menjadi Bupati Klaten. Ia ditangkap KPK pada Desember 2016 atas tindakan jual beli jabatan). Keenam adalah dinasti Banyuasin. (Yan Anton Ferdian ditangkap KPK karena kasus suap di Dinas Pendidikan Banyuasin. Ferdian adalah anak dari bupati Banyuasin dua periode sebelumnya, yakni Amiridun Inoed)

Menurut Koordinator Komite Pemantauan Pelaksanaan Ontonomi Daerah ada tiga jenis (model) kelamin politik dinasti. Pertama model arisan, dimana kekuasaan menggumpal pada satu keluarga dan berjalan secara regenerasi. Kedua dinasti politik lintas kamar dengan cabang kekuasaan. Di mana anggota keluarga memegang posisi strategis. Misalkan saja, kakak jadi bupati, adik jadi ketua DPRD. Ketiga model lintas daerah, daerah berbeda dipimpin satu keluarga.

Rampok Hadiah Reformasi?

Mencermati enam dinasti politik korup di atas, jalan korup turut termotivasi hubungan kekerabatan yang sampai pada penguasaan lembaga politik oleh satu keluarga. Bukan hanya monopoli akses-akses kekuasaan yang cenderung merampok itu, jalan lurus KKN dibuat panjang, dipastikan tanpa tanjakan dan tikungan tajam.

Karenanya dinasti politik, mengilhami kreativitas dan inovasi KKN. Sebab-sebab hubungan checsk and balances tidak bersinergi. Aktifitas KKN pun berjalan terstruktur, masif, sistimatis dan rapi. Di tanah lahirku, bahkan dua jenis kelamin politik dinasti berpadu dan menggumpal dalam satu keluarga. (Dinasti Regenerasi dan Lintas Kamar).

Benarlah politik dinasti anak kandung reformasi (ontonomi daerah) yang tak terbaca pada prosesi perjuangan menyalakan reformatisasi pasca kerusuhan 1998. Arus besar reformasi dengan gagap gempitanya, belum totalitas membaca jenis-jenis kelamin KKN yang dikutuk dan berdarah-darah dalam menentang Orde Baru yang feodal, juga oligarkis.

Hingga reformasi berdiri tegak puluhan tahun setelahnya, dan kreatifitas korup berkecambah dan merusak ekologi (lingkungan) kesejahteraan di sebagian besar daerah juga nasional. Kecanduan yang sangat besar terhadap akses-akses kekuasaan yang banyak yang di perebutkan segelintir manusia yang bermodal dan mempunyai akses menghadirkan modal, tentu asbabul nujul yang sangat berpengaruh (determinan) dalam mengguritanya politik dinasti. Ditambah absennya politik hukum yang membatasi menguatnya politik dinasti, di persulit berdirih kokohnya dinasti dan oligarki oleh pilar ulungnya yang bernama partai politik, dipoles pragmatisme kultur politik karena kesenjangan, kemiskinan, dan kehilangan kepercayaan masyarakat terhadap politisi, ditutup dengan menu cuci mulut “penegakan hukum angka dan kuasa.”

Rakyat dalam gambar besar pasti di miskinkan. Apakah Dinasti Politik Regenerasi dan Lintas kamar itu bisa mengharuskan Yandi profesional dengan skema yang penulis gambar sederhana dalam mengonggongi satu tubuh empat peran yang memastikan dia ketua DPRD Bima? “Saya ragu. Bagaimana anda?”

Akademisi, Pers, Aktivis, Jangan Bungkam!

Saya menerawang geliat tanda-tanda korup, mesti tak bisa diungkap telanjang penegakan hukum, di Bima akan bertambah signifikan. Yandi tidak akan bisa optimal memimpin pengawasan terhadap kepala daerah. Saya menduga Yandi akan membeo dan membisu, demi penghormatan dan target jangka panjang untuk menjadi modal dalam pilkada 2025. “Perlu modal dua kali lipat dari Pilkada 2020.”

Karena terbuka celah untuk bersekongkol dan menginovasi KKN. Tanpa yandi saja, tanda-tanda korup di empat tahun Dinda Dahlan masih menjadi rumor, yang selalu jadi panggung dagelan. Yang paling fenomenal temuan Itjen Pertanian dalam dugaan korupsi pengadaan bibit bawang merah 2016-2017.

Besar peluang lembaga DPRD lima tahun mendatang akan sunyi dari aktivitas pengawasan. Iya, kecuali nada-nada sumbang yang atas nama kepentingan elektoral semata.
“Atau rebutan proyek saja.” Dari angota DPRD mewakili Daerah Pemililihannya. Palu itu ditangan yandi. Bersiap-siap memerankan fungsi strategis DPRD dengan tiga peran pokok itu. Yang di awasi iyalah ibunya yang bupati itu? Apakah berlangsung alot hubungan saling mengawasi ataukah perampokan demi perampokan hanya meninggalkan bekas sunyi di sudut dan jantung tanah kelahiran. Nantinya.

Saya ingin mengatakan itu sebagai kesaksian moral, bahwa kedepanya lembaga DPRD tidak bisa menjadi sumber informasi lain, dan wajah lain, perdebatan alot dan kerja-kerja berkesinambungan menuju kesejahteraan masyarakat bima yang dijauhi  bahkan dihalang-halangi pemerintah. Kedepannya kualitas pembangunan (gambar besar) pembangunan akan lebih buruk sebelum Yandi menjadi ketua DPRD. Bila benar demikian? Kemana masyarakat akar rumput, menemukan mitra untuk mengetuk nalar, menyentuh nurani Pemerintah Daerah?

Lembaga politik dan Penegakan hukum, terpaksa tidak bisa menjadi sarana preventif dan represif pemberantasan KKN. Apalabila yang korup itu kelas berkuasa itu solid mengendalikan narasi KKN di jantung trias politica itu. Ditambah membersamai karena kekerabatan dan ketergantungan politis, yang pelan-pelan membunuh etika politik dan keadaban rakyat.

Dua Tembok batu besar, lagi megah, lagi menentukan itu di pimpin ibu dan anak itu, meneruskan riwayat bapaknya itu, dengan perpaduan dua jenis kekuasaan itu akan “menutup” akses informasi publik. Mesti ada UU Keterbukaan informasi.

Tembok besar, satunya lagi, gampang diurus, cieee. Karenanya, masyarakat Bima memerlukan suara-suara tajam lagi lantang dibelakang tembok batu itu, yang menyusup menakuti dua tembok tertutup itu, nantinya. Pertama di sponsori civil society (intelektual organik) di berbagai kampus (Akademisi). Kedua dari pena-pena jurnalis, yang independen dan bermahzab kritis. Yang ketiga dari aktivis mahasiswa yang otentik, berkiprah di ruang pemikiran dan aksi massa.

Saat ruang pemikiran, suara, dan kerja-kerja diluar sistem diatas gugup apalagi bungkam, didiamkan, disumpel angka dan kuasa, tak akan ada lagi kekuatan penekan, pengontrol, dari jalan tol perampokan dan pemangkasan hajat hidup masyarakat kabupaten bima. Itu sama saja, semua pihak melegitimasi kesenjangan dalam waktu yang tak ditentukan. Mulai pembahasan, perencanaan, dan eksekusi kebijakan atas nama masyarakat rentan dikorupsi.

Sedikit suara-suara nyaring saja, lalu lintas korup terbuka, apalagi tidak sama sekali. Berbahaya tentu saja. Maklum iya saja. Yang jelas, nyanyi bisu kesenjangan terbuka, sebab dibendera politik uang dan kuasa, kembali modal, mengumpulkan modal, mendiamkan penganggu iyalah niscaya, demi efektif dan efisiensi perampokan demi perampokan yang berpotensi berjilid-jilid. Kecuali bendera dinasti dimanapun berada menutup diri dari aktivitas KKN. Jelas saja, membersamai untuk serius menghadirkan keadilan dengan solid, akan mampu mengeluarkan bima dari daerah stabil ekonomi, progresif korup, juga kriminal lainnya.

“Semoga saja Yandi benar-benar profesional, mengonggongi ibunya yang kepala daerah itu.”

Foto: Ilustrasi