KORANNTB.com – Baru-baru ini muncul wacana untuk menertibkan kesenian Kecimol di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Sejumlah pelaku pariwisata mendesak Kecimol ditertibkan karena dituduh kerapkali menimbulkan keributan dan kemacetan lalulintas.

Link Banner

Wacana penertiban tersebut mendapat penolakan keras dari Seniman asal Lombok Adam Gottar Parra (AGP).

AGP yang dihubungi mengatakan, wacana penertiban Kecimol karena alasan sering mendatangkan keributan pada warga sangat tidak adil. Karena, kegaduhan yang terjadi bukan hanya karena Kecimol, tapi juga terjadi karena Gendang Beleq. Artinya, kedewasaan masyarakat yang menikmati kesenian yang perlu diperbaiki, bukan pada kesenian itu sendiri.

“Selalu yang dipojokkan Kecimol berkali-kali. Alasan karena sering membuat ulah, padahal jika kita cermati yang sering membuat kegaduhan bukan cuma Kecimol, tapi Gendang Beleq juga. Itu dari aspek keamanan,” katanya dihubungi, Kamis malam, 7 November 2019.

Dia mengatakan, setiap genre kesenian punya hak hidup, begitu juga dengan Kecimol.

“Setiap genre kesenian sama-sama punya hak hidup. Jadi bukan cuma Gendang Beleq yang punya hak untuk hidup. Tidak ada diktum (keputusan) mengatakan yang berhak hidup seni tradisi yang sudah lama, tapi seni tradisi kontemporer yang lahir dari perubahan berhak hidup,” ujarnya.

Terkait penampilan biduan Kecimol yang kerapkali berjoget seksi dan bahkan berbusana seksi, AGP menjelaskan bahwa sebuah kesenian tidak berurusan dengan moral, karena kesenian soal estetika, berbeda dengan moral yang identik dengan etika.

“Kesenian tidak berurusan dengan moral, yang berurusan dengan moral itu agama. Kesenian bukan ranah etik tapi estetika. Kesalahan yang fatal jika kesenian dikaitkan dengan ranah etik. Mereka yang sering kaitkan kesenian dengan ranah etik itu tidak paham budaya. Kesenian murni ekspresi,” jelasnya.

AGP menjelaskan, Kecimol mulai berkembang era tahun 80-an di Lombok Timur. Perkembangannya bermula dari drum band kesenian Eropa, yang kemudian diikuti dengan modifikasi musik yang sesuai keinginan.

“Kecimol dari tahun 80 an. Dulu namanya esot tumbuh kembang dari Lombok Timur dari drum band. Kecimol kemudian dibawakan dengan lagi pilihan mereka,” ungkapnya.

“Kecimol seni kontemporer yang merupakan produk masa kini sebagai bagian dari akulturasi budaya akibat aksi interaksi dengan budaya lain,” ujarnya.

AGP meminta para pihak tidak menjadikan Kecimol sebagai kambing hitam dari keributan maupun kemacetan yang terjadi. Terlebih lagi, banyak orang yang telah bergantung hidup dari Kecimol.

“Ini (Kecimol) kelompok yang tersingkir secara sosial ekonomi, yang menggantung hidup dari Kecimol dan akhirnya mereka survive. Luar biasa mereka bisa mencari makan lewat kesenian,” katanya.

AGP mengindikasikan serangan-serangan pada Kecimol dilakukan oleh pesaing mereka yang tidak ingin mati akibat eksistensi Kecimol yang terus diminati masyarakat.

“Ada indikasi yang melakukan tekanan pada Kecimol adalah kelompok pesaing mereka, karena saya lihat pesaing mereka sudah mulai tersingkir,” sebutnya.

Ditanya jika kesenian tradisional tersingkir akibat eksistensi Kecimol, AGP mengatakan kesenian memiliki hal untuk hidup, berkembang dan mati. Jika kesenian tradisional mati akibat tergerus zaman, maka menjadi hukum alam, karena kesenian bukan kitab suci yang kekal sepanjang masa.

“Kesenian bukan kitab suci, mau mati hari ini enggak masalah. Kalau masyarakat sudah menganggap tidak menarik untuk apa dipertahankan. Karya seni punya hak untuk lahir, tumbuh sekaligus mati,” tandasnya.

Seniman sekaligus budayawan ini mengatakan tidak ada tradisi yang benar-benar murni lahir dan asli dari Sasak. Jika dicermati, alat kesenian di Lombok sebagian besar lahir dari luar negeri.

“Kalau bicara tradisi yang mana tradisi benar-benar produk kita, contoh alat Gendang Beleq seperti beduk itu produk dari China. Seruling itu dari luar. Oleh karenanya tidak ada pihak yang merasa lebih berhak,” ujarnya. (red)

Foto: Kecimol. (tangkapan layar YouTube)